17

968 73 23
                                    

Aku masih mendengarkan ocehan bang Ivan sedari tadi via telepon. Ia baru saja bertengkar tentang hal simpel. Tentang warna dekor. Apa setiap orang yang akan menikah akan menjadi lebih sering bertengkar?.

"Ya udah sih bang, tiap cewe juga punya pernikahan impiannya. Toh nikah juga kalo bisa sekali seumur hidup. Ikutin aja keinginannya Kak Di..," saranku.

Jawabannya? Ya alasan bertele-tele. Hingga akhirnya ku buat dia bungkam dengan ucapan masih syukur Kak Di mau nunggu abang lulus kuliah yang pake sok-sok-an di Luar segala. Masih syukur Kak Di gak ke-gaet cowo lain. Abang pikir selama abang di Inggris ga banyak cowo yang deketin dia?. Please, dia cewe cantik, baik, cerdas. Kalo dia gak cinta, ngapain juga dia rela nunggu orang gila gak jelas kaya abang.

"Jadinya kapan lamarannya?,"

"Tanggal...,"

"Abang udah pastiin Kak Di nerima kan?,"

Ada isyarat hm yang menandakan keyakinan.

"Kenapa emang?," tanyanya.

"Ya siapa tahu di detik-detik terakhir Kak Di udah tersadar bahwa selama ini matanya mblereng,"

"Dasar adek kurang ajar!,"

Aku tertawa terbahak. Aku bisa melihat telinganya memerah. Bang Ivan memang aneh. Orang kalau marah, yang berubah merah itu wajahnya dulu. Lah dia? Malah kupingnya dulu.

"Bang.. Valen bakal ada penelitian..,"

"Penelitian apa? Kapan?,"

Dasar abang overprotective.

"Mulainya sebelum lamarannya abang. Sama Pak Mario,"

Dia mengangguk-angguk.

"Kalo Valen tiba-tiba gak bisa dateng karena gak dapet izin gimana?," tanyaku mulai mendiskusikan tujuan awal obrolan ini.

Dia tampak berpikir sebentar. Tidak lama, aku sudah melihat cengiran aneh khas dirinya.

-

Penelitian ini dimulai hari ini. Aku dan tim sudah siap sedari pagi. Ya, hari ini weekend. Berkat penelitian ini hari liburku pun terkurangi.

"Gleen.. Semua barangnya udah lo turunin kan?," tanyaku sambil kembali melihat daftar barang bawaan kami.

Yang kuajak bicara malah asyik memiringkan ponselnya. Dasar anak millenial.

"Vaaal.. Ya ampun bentar deh gue POU gue lagi makan dikit lagi," pintanya ketika ponsel yang ada ditangannya kutarik paksa.

"Bodo amat," ucapku sambil terus melangkah tak hati-hati saat membawa ponselnya.

Aku berjalan menuju dapur rumah penduduk yang kami tempati. Sepertinya sang pemilik sedang membuatkan makanan untuk kami. Bukankah rasanya tidak nyaman jika sebagai tamu tapi tidak membantu.

"Bu.. Ada yang bisa dibantu?," tanyaku mendekat.

"Nda usah nduk," ibu itu menatap ke arahku dan tersenyum khas.

Tidak. Aku tidak seperti itu. Aku tetap keukeuh ada disitu dan mengambil tindakan yang bisa kulakukan. Memetik sayur yang akan kami masak.

"Ealah nduk. Malah jadi merepotkan kamu..,"

"Ngga kok bu. Malah kami yang merepotkan ibu dan sekeluarga disini"

Aku mengobrol dengan ibu itu. Bercerita tentang kebiasaan orang desa yang baru saja kuketahui seperti festival desa ini atau beberapa hal lain.

DNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang