23

237 25 11
                                    

Hari Minggu pagi menjadi waktu yang sangat indah bagi mahasiswa yang punya jadwal sibuk dengan waktu kuliah. Setidaknya hari ini bisa bangun lebih siang dari biasanya dan bercumbu mesra dengan kasur dan menyalahkan gaya gravitasi bumi yang terlalu kuat sebagai alibi malas bergerak. Ya, harusnya hari ini seperti itu, tapi tidak dengan Minggu pagi ini.

Aku sudah dijemput oleh Radit dan dua temannya untuk kembali menjadi tour guide mereka lagi. Hari ini mereka berkeinginan untuk pergi ke beberapa objek wisata dan pantai dengan pemandangan indah dan pasir putihnya. Jangan lupakan dengan beberapa wahana yang cukup mengundang adrenalin. Bahkan untuk mengejar sunrise mereka rela untuk menjemputku pagi sekali.

"Lo ke pantai pake kaos doang Dit?," ini pertanyaan Ando yang entah berapa kali sudah kudengar sejak tadi.

"Kenapa si?,"

"Ya gapapa, masalahnya lo dari kemaren pake baju warnanya itu mulu. Gue curiga di tas lo cuma ada 1 baju doang," Manda menambahkan.

"Gue kasih tau ya, tiap abis gue pake bajunya langsung gue cuci dan jemur, jadi ya gitu siklusnya. Lagian baju gue emang rata-rata warnanya ini doang," Radit menjelaskan.

Aku hanya tertawa mendengar Radit yang menjelaskan dengan bahasanya yang sedikit rumit. Benar memang, bahkan sedari dulu baju Radit hampir terkomposisi tiga warna saja dan sebagian besar berjenis kaos. Jadi, jika Radit mengenakan kemeja, jas, atau pakaian rapi semacamnya, maka bisa dikatakan itu momen langka. Ah jangan lupakan, Ia pernah bilang selalu mengambil kaos yang pertama kali Ia lihat. Mungkin ini menjadi salah satu alasan Ia terlihat tidak pernah ganti baju. Bahkan tidak cuma Radit, Bang Ivan dan Papa juga seperti itu. Aku curiga, apakah semua makhluk bernama laki-laki memiliki kebiasaan yang sama soal pakaian?.

Tepat ketika sampai di lokasi pantai, suasana sudah cukup ramai. Selagi Ando dan Manda sedang mempersiapkan barang yang ingin dikeluarkan, aku mencegah Radit keluar dari mobil terlebih dahulu.

"Kenapa? Masih kangen? Mau peluk?," tanyanya yang segera ku balas dengan tepukan ringan. Bahkan ekspresinya menunjukkan bahwa aku baru saja melakukan kekerasan. Apa dia tidak malu dengan otot-ototnya yang mulai terbentuk itu?

Sepertinya aku melupakan untuk bercerita tentang Radit adalah penggila olahraga. Meski dulu Ia adalah kapten futsal, sekarang Ia tidak bisa menjalankan kesenangannya itu setiap hari. Seperti yang dikatakan Manda kemarin, jadwal Radit benar-benar padat sekali, tapi Ia tetap menyempatkan diri untuk berolahraga mandiri. Pernah pagi-pagi sekali, Ia menelponku karena bangun lebih siang dari jadwalnya, bukannya langsung siap-siap berangkat malah menyempatkan diri melakukan push up, squat, dan beberapa aktivitas workout lainnya dengan jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit. Bahkan berakhir dengan kumatikan panggilannya karena kesal sendiri. Sudah bilang telat, tapi masih saja melakukan workout.

"Malu sama Ando sama Manda!," jawabku.

"Biarin. Biar mereka iri. Selama ini gue yang iri sama mereka!," mulainya.

"Dit, sini bentar. Ngedeket bentar!," titahku. Ia masih bercerita tentang dirinya yang menjadi obat nyamuk selama di Bandung.

"Eh.. mau ngapain si?," tanyanya ketika tanganku menuju ke area wajahnya.

"Pake sunscreen disini bakal panas banget,"

"Dipakein kan? Gue gak mau pake sendiri," memang ya kalau manjanya sudah keluar, aura dia yang cuek bebek benar-benar pudar. Tanpa menjawab pertanyaannya, tanganku segera mengoleskan krim sunscreen ke area wajahnya yang ternyata semakin kurus dengan rahang yang semakin tegas. Wah, sepertinya Radit memang bekerja keras dalam kuliahnya.

"Iya gue tahu..," ucapku ketika selesai meratakan sunscreen di wajah Radit, dan sunblock di area tubuhnya yang tidak tertutup pakaian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang