Semilir angin yang tenang membuat gadis bertudung abu-abu itu meneguhkan niatnya untuk mengunjungi gundukan tanah yang tengah sendiri di sana.
Sudah satu bulan sejak ia pergi. Bunga Syrn yang sebelumnya ia bawa pun sudah layu dan kering. Namun penghuni di dalamnya itu enggan bangun untuk membersihkan sampah di atas permukaannya. Rumput-rumput liar pun telah memenuhi tanahnya.
Gadis itu berjongkok di samping tanah itu. Kemudian meletakkan setangkai bunga Syrn di atasnya. Mengelus patokan kayu yang berada di sana. Wajahnya sendu tanpa senyuman sedikitpun. Ditemani oleh semilirnya angin yang menerbangkan dedaunan musim gugur.
Semenjak dia pergi, tak ada lagi yang mengurus rumah yang berada tak jauh dari makamnya. Hanya ada gadis itu yang sesekali berkunjung mengajak kucingnya untuk sekedar menyendiri. Atau ketika ingin mengenang sahabat karibnya itu. Dan bibinya itu memilih untuk tinggal di padang rumput tempat orang tuanya. Juga tak kuasa ketika mengingat sosok gadis itu di sana.
"Dear, sudah satu bulan. Bagaimana kabarmu di atas sana?" ucapnya sendu.
Tak ada yang menjawab. Hening. Tetap angin yang berhembus itu menyapu habis kata-katanya. Tanpa terdengar oleh sang penerima.
Gadis itu berdiam diri di sana. Tanpa mengucapkan kata apapun selain kalimat yang baru saja dia ucapkan. Ia rela menghabiskan waktunya untuk menatap nanar makam itu. Tanpa ada senyuman dan tawa dari penghuninya. Juga tanpa sebuah keteguhan yang selalu mendampinginya. Hanya dirinya sendiri.
Tak sadar, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Kemudian gadis itu menoleh. Terhenyak mendapati pemuda yang dia kenal berdiri di belakangnya. Sama seperti gadis itu, dia tengah menatap nanar ke arah tanah itu. Kemudian terkejut melihat setangkai bunga Syrn yang sama dengan yang ia bawa untuk penghuninya.
"Kau membawa pulang bunganya?" tanya pemuda itu.
"Lilian memberikanku satu pot bunga Syrn untuk ku jaga. Untuk Dear--" menyebut namanya saja mampu mengundang kesedihan itu datang kembali. Gadis itu tak mampu bahkan untuk mengucap satu kata namanya.
Pemuda itu lalu menaruh bunga Syrn yang sama dengan milik gadis itu. Kemudian menyentuh ujung patokan kayunya. Menatapnya sendu.
"Seharusnya ini tak terjadi, Dear." gadis itu tak dapat menahan tangisnya untuk tidak keluar. Meskipun hari berganti, minggu berlalu dan bulan pun telah berlalu, dia tak bisa menghilangkan pikirannya begitu saja untuk tidak mengenang kejadian itu. Kejadian atas pengorbanan sahabatnya.
Pemuda itu menepuk pundak sang gadis kemudian tersenyum. Barangkali jika dia melakukan itu, dapat mengobati rasa sakit dan rindu akan sahabatnya.
"Pansy, kau mau ikut aku ke Aegis?" tanyanya.
Gadis itu terbelalak. Bagaimana dia bisa? Ikut pemuda itu sementara tempat yang ia kunjungi merupakan tujuan utama sahabatnya berkorban diri. Kalau saja masa lalu dapat diubah, tadir dapat terhindarkan, kalau saja waktu itu Dearly tak pergi ke tempat itu dan menyelesaikan misi demi menghancurkan Rexana, dia pasti mengunjungi toko rotinya setiap pagi untuk membeli Canele. Dan sekarang tak ada lagi gadis itu yang pergi ke rumahnya untuk menggendong kucingnya.
"Kau tak bisa menyalahkan takdir yang terjadi. Apapun itu, semuanya ditentukan oleh waktu. Semua takdir dan dentangan alam akan berakhir dengan waktu. Yang tak bisa kau ubah bagaimanapun caranya," ucap pemuda itu.
"Etherd, maafkan aku. Mungkin aku yang terlalu egois dengan semua ini. Kalau saja aku bisa selalu bersama Dear waktu itu, sementara kau bersama Patrisia. Itu semua tak akan terjadi. Aku yang terlalu naif untuk membiarkan Dear pergi sendirian menemui Sagoz." isakannya semakin menjadi. Rasa bersalah seketika menghampiri dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
World of Elves ✔
Fantasy{END} Dearly terkejut ketika mendengar sebuah ledakan yang terjadi di dekat hutan kecil belakang rumahnya. Karena penasaran, akhirnya Dearly mengajak Pansy--sahabatnya untuk melihat ledakan besar tersebut. Awalnya, Pansy berpikir jika itu adalah led...