Bonus Chapter: Puzzle

91 9 3
                                    

Dimulai dari chapter 'Love Cherry Motion'.

🐇🐇🐇

Haris POV.

"Ngapa, sih, lu Nael? Kusut bener mukanya kayak kantong kresek."

Peter—teman semeja Nathanael—menepuk punggung Nathanael yang baru duduk. Sedangkan gue yang di belakang mereka langsung memperhatikan wajahnya Nathanael.

"Ter, lu masih pdkt sama adek kelas?" tanya Nathanael yang disambut malu-malu kucing Peter.

Tapi Peter malah mendorong Nathanael yang hampir jatuh dari bangku, senang boleh tapi untung Nathanael tahan tak jadi jatuh.

Tak lucu kalau jatuh.

"Biasa aja ngapa! Kalo gue jatoh gimana?" sungut Nathanael

Peter terkekeh. "Untungnya lu gak jatoh, sih, Nael."

"Ketawa, dah, seneng amat lu lihat temen susah."

"Kalo lu susah dapet KJP, Nael."

"Udah gak usah debat mulu, gue yang denger kesel lama-lama," sahut gue melerai mereka berdua. Kalau tidak begitu tak akan berhenti, gue jamin.

Nathanael dan Peter menengok ke belakang, maksudnya ke arah gue. "Maap-maap aje, nih, Har. Yang mulai si Peter, jadi lu omelin aja kelabang ini." Nathanael menunjuk-nunjuk Peter.

"Iya, deh, yang waras ngalah aja pokoknya. Peter cinta kedamaianlah."

Gue geleng-geleng melihat kelakuan mereka berdua yang bisa dibilang abstrak tak ada bentuknya. Bayangkan punya teman yang sifatnya sebelas-dua belas sama lu, pasti hancur.

Gue bercanda doang.

Tiba-tiba Ella datang ke meja gue sambil menaruh buku tulis beserta teman-temannya. "Ngapain lu?" tanya gue kaget.

Ya bagaimana tidak kaget? Memang, sih, bangku sebelah gue kosong karena Awan tidak masuk, pulang kampung. Tapi, ya ... kenapa mesti Ella? Wajahnya tidak ada senyum-senyumnya.

"Kenapa? Gak boleh? Gue mau ngomong tentang lom—"

"Halah, palingan modus, Har. Jangan mau ama singa betina," ledek Peter yang disambut lemparan penghapus dari Ella.

Peter meringis kesakitan. "Heran gue sama Adrian bisa demen ama—iya ampun nyai."

Dalam hati gue hanya tertawa karena kocak saja kelakuannya. Lalu gue lihat Ella. "Ngomongin lomba apaan?"

"Uuum ... lomba photograpi dan lumayan juga hadiahnya, lho. Ini juga bisa banggain sekolah termasuk kelas kita."

Bilang aja lu mau naikin citra kelas biar gak dijelekin mulu. Tapi boleh juga sih.

"Kapan lombanya? Terus persyaratannya apa?"

"Persyaratannya lu harus ambil gambar objek manusia, binatang atau tumbuhan. Oh iya, pemandangan juga bisa. Terus selesainya berkasnya kasih ke gue biar gue kirim ke pusat lombanya," jelas Ella.

Gue mengangguk tidak paham. Dia menjelaskannya cepat banget seperti orang menahan buang air kecil. "Kan, lu bisa kasih tahu nanti. Kenapa mesti pindah tempat duduk?"

Ella menggaruk kepala sambil menengok ke bangkunya. "Sebenernya, sih, di bangku gue ada permen karet gitu terus nempel di rok gue. Lagian Thania gak boleh bangku satu berdua, ya udah gue pindah kesini. Boleh kan, ya? Lu kan baik banget."

"Terserah. Sesuka hati lu aja."



🐇🐇🐇



Bel pulang sekolah berbunyi.

Satu kelas sudah kosong tinggal gue, Nathanael dan Shilla. Kemudian gue pamit duluan karena ada janji dengan seseorang dan gue tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan mereka, bukan urusan gue juga.

Sampai di parkiran motor gue melihat cuacanya agak mendung, mudah-mudahan tidak hujan di jalan.

"Haris?"

Gue menengok. "Hah? Iya? Oooohhh Nadira," ucap gue sambil senyum.

Lalu gue memberi helm warna kuning. Adanya warna itu, lagipula boleh pinjam juga.

Punyanya Peter.

Karena Peter sedang ekskul futsal pulangnya sore, tapi tidak tahu terburu atau tidak gue kembalikan.

"Helmnya kuning, ya."

Gak suka?

"Kenapa? Gak suka warnanya?" tanya gue.

Kalo gak suka protes aja sama Peter. Kenapa punya helm kok warna kuning? Yang keren dikit gitu warna hitam kek atau putih.

Lah, malah gue omongin Peter?

"Eh nggak kok, malah gue suka banget soalnya warna kesukaan gue. Tapi warna langitnya gak secerah helm ini," ucapnya.

Yang ada gue malah respon senyum. Tak tahu gue ingin respon seperti apa, kaku saja begitu. Kalau langsung sok akrab kesannya jijik. Kalau diam kesannya tidak asik. Tidak peduli.

Gue naik motor lalu menyalakan mesin motor. Saat melihat Nadira malah senyum lihat gue mulu, kalau kesamber bagaimana? "Ayo naik biar gak kehujanan di jalannya."

Bisa gue rasakan beban motornya bertambah karena dia sudah naik ke jok belakang alias gue bonceng.

"Jauh gak tempatnya?"

"Nggak, kok."

"Oke. Kasih tau jalannya, ya, biar gak tersesat kita."


Sekip.


Sudah dua jam gue di sini dan Nadira ketiduran di bangku kayu. Apa karena gue terlalu asik dengan dunia sendiri jadinya acuh tak acuh dia.

Tapi gue tak tega membangunkannya, kalau tidak dibangunkan bagaimana caranya pulang?

Ini sudah sore banget. Sekitar jam lima sore.

Mau tak mau gue bangunkan.

Hampir saja tangan gue untuk bangunkan dia, tapi sepertinya dia tidak izinkan gue untuk sentuh, lagipula dia sudah bangun dengan sendirinya.

Dia mengucek matanya sambil menatap gue. "Lu udah motretnya? Eh, maaf gue ketiduran." Dia langsung berdiri dan ambil tasnya.

"Mau pulang?" tanya gue yang tidak jelas.

Dia diam lalu menatap gue agak bingung, iya bingung lagipula kenapa tanya jelas-jelas terlihat kalau ingin pulang. "Ma—maksudnya, udah sore ntar takutnya orang tua lu cariin."

Dia senyum.

Dan akhirnya dari sini sampai gue antar Nadira pulang yang ada hening.




🐇🐇🐇

[1] Confused ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang