Bonus Chapter: Twilight

139 9 0
                                    

Dimulai dari chapter 'Eclipse'.

🐇🐇🐇

Wirasena POV.

"Yah anjir ada gerhana bulan malem ini, jadi males kan gua keluar."

Gue setelah membuka ponsel yang isinya berita tentang gerhana bulan dan yang benar saja orang harusnya pergi ke masjid untuk sholat gerhana tapi—

"Ah iya, gue ada makalah yang belum di print. Segala lupa gue anjir." Gue turun dari kasur lalu mengambil laptop, nyalakan, buka file dan saat ingin print ternyata...

"Printernya rusak woi, pasti Zoe ini habis pake gak bilang kalo rusak. Untung adek, ya, kalo temen gue udah maki-maki." Gue menggerutu sendirian.

Gue berdiri, ambil tas memasukkan flashdisk yang ada filenya untuk diprint di tempat fotocopy, lalu mengambil jaket di belakang pintu—udaranya dingin, apalagi sudah malam.

Saat gue keluar si Zoe mengumpatnya kencang banget sampai gue dengar. "Jangan woi jangan! Head stone sia maneh."

Dasar orang gila, gimana nanti tinggal di rumah sendirian?

Tadinya gue ingin acuh tak acuh saja biar tak ribet, tapi Zoe bicara. Mau tak mau harus gue dengarkan biar tak mengadu mulu, begitu tukang mengadu.

"Mau ke mana? Minggat? Rugi bang minggat kalo tempat pelariannya babang Shua yang ada diceramahin, lho."

Siapa yang mau ke Joshua?

Gue balik badan menatap Zoe yang sedang ditonton televisi. "Siapa yang mau minggat?"

Dagunya mengarah ke belakang gue—tas, setelah melihat apa yang dia maksud gue menghela napas.

Heran. Ada begitu orang yang pemikirannya kalau bawa tas disangka pergi dari rumah? Sakit kali, ya. Lagipula Zoe, nih, kebanyakan tonton Pengabdi Mantan sama bunda, dramanya banyak.

"Gue mau ke tukang foto copy-an, printer rumah rusak," jawab gue datar, padahal gue memang bicara lempeng benyek seperti bubur tapi disangka ketus. Memang dasarnya manusia setan.

Langsung gue keluar dan papasan dengan bocah kecil tenteng plastik putih, sepertinya dari toko. Karena dia senyum lalu menyapa gue ya ... gue balas.

Tempat fotocopy tak jauh dari rumah paling sepuluh rumah gue lewati sudah sampai. "Bang, tolong print yang file 'Antropologi II'." Gue memberi flashdisk ke tukang fotocopy-nya.

Sebenernya gue malas ke sini karena akan bertemu seseorang. Gara-gara Zoe, tapi bagaimana juga dia adik gue, ya mungkin gue salahi dia mulu, tidak akan selesai juga.

Makanya gue harus dewasa, mungkin kadang suka menyuruh-nyuruh dia dan Sandra. Wajarlah abang harus dipatuhi.

Dugaan gue benar, kan, dia datang. "H—hai, Kak Wira!" ucapnya.

"Iya."

"Tumben ke tukang fotocopy—Bang, saya beli post it dua sama stabilo warna hijau." Dia senyum.

Tidak ada yang tanya 'kan siapa dia? Sudah tidak usah tanya, hidup lu saja berantakan.

"Printer di rumah rusak," jawab gue singkat, tak suka bertele-tele.

Matanya melihat gue sambil senyum. "Untung kita masih temenan, ya, Kak. Coba aja selesainya gak baik-baik, pasti kita cuma saling diam."

Ngomong apa coba? Gue jadi flashback, kan.

Bibir gue mengulum senyum dan meletakkan tangan kiri gue di atas etalase lalu menghadap dia. "Kabar Arsen di sekolah gimana, Rin?" tanya gue.

Sudah lama gue tidak melihat Arsen lagi selama satu tahun ini, biasanya kita bertemu diam-diam dan orang tua tidak tahu. Karena mereka berdua melarang dua kakak beradik ini bertemu, sedih seperti drama.

[1] Confused ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang