"Sinting." Ucap Siyeon sambil menggelengkan kepalanya.
Gadis bernyali besar ini hanya merasa kesal, mana mungkin ada orang yang berani sampai melukainya secara langsung?
Siyeon langsung mencari kontak seseorang di ponselnya. Tangannya berhenti saat ia menemukan nama Felix disana. Walaupun berani, tapi tetap saja Siyeon pikir ia butuh seseorang untuk menemaninya.
"Ya?" suara berat Felix menyahut.
"Lix, lo dimana? Bisa ke rumah gak?" tanya Siyeon.
"Hah? Di jalan." Ucap Felix.
"Mau kemana?"
"I have to go somewhere." sahutnya cepat. "With my family."
Siyeon hanya bisa menghela napas pelan. Felix pasti sedang sibuk sekarang.
"Oh, yaudah."
"Kenapa?"
"Gapapa, kok. Nanti aja gue chat."
"Okay," ucap Felix tanpa menanyakan apa maksud tujuan Siyeon meneleponnya.
Sambungan telepon ditutup. Ia lalu mencoba menelepon Nancy. Sebenarnya Siyeon merasa tidak enak juga. Nancy sudah pasti akan khawatir dan malah kembali kesini, sementara harus mengantar orang tuanya. Namun, ia tak punya pilihan lain.
"Halo, Yeon?" Nancy menyahut saat panggilan telepon Siyeon dengannya tersambung.
"Nan? Lo dimana?" tanya Siyeon.
"Gue masih dijalan, belum sampe rumah. Ini di taxi." Jelasnya. "Ada apa?"
Siyeon terdiam selama beberapa saat. "Oh... Gapapa." Katanya.
"Yeon? Ada apa?" tanya Nancy curiga kenapa temannya ini menelepon.
"Nggak, Nan. Gapapa."
"Kenapa, Siyeon? Lo kedengerannya aneh."
Siyeon terdiam selama beberapa saat. "Nan... Gue dapet telepon aneh." Ucapnya.
"Telepon aneh? Yang tadi?"
"Orang itu bahas-bahas mereka." Wajah Siyeon kini berubah khawatir.
"Mereka?"
"Seoyeon, Nakyung... Dan yang lainnya." Ucap Siyeon. "Lo ngerti, kan?"
Terdengar suara helaan napas Nancy diujung telepon. "Yeon, apa gue bilang, kan?"
Siyeon meringis. "Nggak, Nan. Gapapa, gue cuma... Agak ngerasa gak tenang aja."
"Mungkin itu Seoyeon? Atau Nakyung?" ucap Nancy. "Gue rasa itu mereka yang ngerjain lo."
"Suaranya cowok. Orang yang nelepon gue itu cowok." Jelas Siyeon.
"Hah? Yeon, sumpah. Gue balik ke rumah lo sekarang!" bentak Nancy.
"Jangan!" balas Siyeon. "Lo anter Mama lo aja."
"Gue takut orang itu macem-macem." Balas Nancy. "Gue kesana!"
"Nancy, jangan berlebihan." Tukas Siyeon dengan nada mengaturnya.
Nancy menghela napas berat. "Yeon, gue takut lo kenapa-napa."
"Nggak. Gue bisa sendiri. Gak akan ada yang berani macem-macem sama gue selama orang tua gue punya segalanya." Ucap Siyeon lalu terkekeh pelan. "Gue cuma mau cerita aja tadi. Gapapa kok, aman disini."
Nancy lagi-lagi mendesah pelan, mengalah dengan omongan Siyeon. "Oke... Tapi telepon gue kalo ada apa-apa lagi. Atau telepon polisi kalo bisa, oke?"
Siyeon mengangguk walaupun Nancy nggak bisa melihatnya. "Iya."
Akhirnya panggilan terputus. Ia sempat berpikir untuk menerima ajakan bertemu Jeno tadi. Ia juga merasa tidak enak di rumah sendirian. Tapi yang namanya Siyeon jelas gengsi untuk melakukan itu.
Ponsel Siyeon kini kembali berdering, menandakan panggilan telepon.
"Kenapa banyak yang telepon gue, sih?!" rutuknya.
Kali ini ia bisa sedikit merasa lega karena bukan nomor asing itu yang meneleponnya, melainkan sebuah kontak dengan nama Han Jisung. Setidaknya yang menyebalkan lebih baik dari pada peneror tadi.
"Halo?"
"Halo Siyeon," sapa Jisung dengan suara khasnya, membuat Siyeon lagi-lagi berdecak.
"Apaan?"
"Lo lagi sibuk gak?" tanya Jisung.
"Kenapa?"
"Malem minggu nggak kemana-mana?"
"Ada apaan sih? Kalo perlu ngomong aja. Nggak usah bertele-tele!" bentak Siyeon.
"Gue mau ajak lo jalan." Ucap Jisung.
"Gak." Balas Siyeon. "Gak bisa."
"Lo sibuk, ya?" tanya Jisung dengan hati-hati.
"Sibuk banget." Sahut Siyeon asal. "Udah deh, makanya gue sibuk jadi nggak bisa lama-lama ngomong sama lo. Gue tutup, ya."
"Eh, Yeon—"
Belum sempat Jisung menyelesaikan ucapannya, Siyeon memutuskan panggilan.
Siyeon kembali duduk di sofa ruang tengah rumah. Keadaan di luar kini sudah gelap, suasana pun makin terasa sepi. Gadis itu mencoba untuk fokus pada tontonannya di televisi, namun tetap saja gagal. Pikirannya melayang kemana-mana. Entah itu memikirkan si penelpon tadi, email dan SMS aneh yang ia dapat atau bahkan tentang orang yang pernah dirundungnya.
Kring! Kring!
Ditengah lamunannya, tiba-tiba Siyeon dikejutkan dengan suara dering telepon rumah yang berada di atas meja di sebelah televisi. Ia lagi-lagi mengumpat karena terkejut.
"Apaan lagi, sih." Dumal Siyeon sambil berdecak.
Cewek itu segera beranjak dari duduknya dan mengangkat gagang telepon.
"Ya, halo?" sahutnya dengan sopan, mengingat ini telepon rumah atas nama keluarganya.
"You shouldn't hang up the call."
Suara itu lagi.
Siyeon tiba-tiba mematung di tempat.
"Lo... Lo lagi?!" bentak Siyeon.
Orang dalam telepon itu terkekeh, membuat Siyeon merinding. "Jangan tegang dulu. The game isn't even started yet."
"What do you want?!"
"Mau gue?" ulang si penelepon. "Gue mau membuat dunia ini lebih adil." Jawabnya dengan suara hampir berbisik.
"Gak lucu, anjing!" pekik Siyeon. "Lo siapa, sih?!"
"Gue siapa?" ulang penelepon itu lalu tergelak. "Instead asking me who am i, you better guess where am i."
"A-apa?"
"Di sebelah TV, pakai kaus biru dan celana putih." Ucap orang itu. "I can clearly see you from here, Siyeon."
Jantung Siyeon seakan berhenti berdetak selama sepersekian detik. Pandangannya bergerak-gerak gelisah ke sepenjuru rumah. Tubuhnya bergetar hebat menahan panik.
Dan kali ini Siyeon sadar, terror ini bukan hanya berasal dari orang yang sekedar berniat iseng.
"Kenapa bisa sih semua orang jatuh cinta sama wajah angkuh lo itu?" ujar cowok itu. "Buat gue, lo malah keliatan lebih menarik dengan tampang ketakutan kayak gini."
"Fuck off, you creep!"
DAREDEVIL:
revengekira-kira siapa yang telepon siyeon?