TPONR: Seven

862 235 36
                                    

“Jen?” Taeyong mengetuk pintu kamar adiknya itu pelan. “Jeno?”

Tak lama, pintu terbuka sedikit, Jeno memunculkan kepalanya tanpa keluar kamar atau menyuruh Taeyong masuk.

“Apaan?”

“Lagi ngapain lu?” tanya Taeyong.

“Kenapa? Mama manggil?”

Taeyong menggeleng. “Gua boleh masuk?”

Jeno menelan ludahnya pelan. Ia memang selalu gugup setiap bertemu orang lain sejak kejadian malam itu. Hidupnya benar-benar tidak tenang.

“Mau ngapain? Gua lagi belajar.” Ucap Jeno.

“Yakin belajar? Apa ngegame?”

Jeno hanya berpura-pura terkekeh pelan. “Kagak, kok.”

Taeyong mendorong pelan pintu kamar Jeno, membuat Jeno terpaksa mundur dan membiarkan kakaknya itu masuk.

“Napa sih lu nggak mau ambil SNU aja? Padahal Haechan sama yang lain mau kesana.” Kata Taeyong seraya berbaring di atas tempat tidur Jeno.

“Gapapa, Bang. Gua pengen cari suasana baru aja. Tantangan baru ke luar negeri.” Jawab jeno.

“Cari suasana baru?” ulang Taeyong. “Emang kenapa suasana disini? Berasa buronan aja lu ngebet pengen pindah. Mark, Nenek sama Tante Wendy aja kaget pas gua kabarin lu mau kesana.”

Jeno hanya terdiam selama beberapa saat, menundukkan kepalanya. Mencoba untuk menenangkan dirinya.

“Ya pengen aja.” Ucap Jeno akhirnya.

Taeyong entah kenapa malah merasa sedikit merinding melihat adiknya ini. Bagaimana pun, Jeno adalah anak yang berbahaya sekarang. Taeyong mau tidak mau mengakui itu.

“Jen,” panggil Taeyong.

“Hm?”

“Jangan kecewain Mama sama Papa, ya.” Ucap Taeyong yang membuat Jeno langsung menoleh pada kakaknya itu.

“Maksudnya?”

Taeyong tersenyum tipis. “Jangan kecewain gua juga. Kita semua sayang lu.”

Jeno menatap Taeyong dengan wajah tegangnya, sedangkan Taeyong kini turun dari tempat tidur Jeno dan berjalan keluar kamar lelaki itu. Namun sebelum keluar, ia menepuk pelan bahu Jeno tanpa bicara apa pun lagi.













DAREDEVIL:
the point of no return














“Kamu yakin mau ke Melbourne?” Ucap seorang pria berumur lima puluhan itu di tengah acara makan malam keluarga tersebut.

Renjun yang duduk di hadapan ayahnya hanya tersenyum tipis sambil menunduk. “Iya, Yah, Renjun berubah pikiran.”

“Asik dong, Kak Winwin sama Kak Renjun gak akan ada di rumah, gak akan ada yang bully Ningning.” Celetuk Ningning, anak bungsu dari keluarga tersebut.

Jika ini situasi normal, Renjun pasti akan langsung menggoda adiknya itu sampai kesal, namun kini ia hanya diam, bersikap seolah sibuk dengan makanannya. Begitupun Winwin yang duduk di sebelah ayahnya, ia hanya menatap adik laki-lakinya itu tanpa ekspresi apa pun.

Cerita Taeyong yang ia baru dengar dua hari lalu kembali terngiang-ngiang di kepalanya.

“Kamu nggak lagi ngelakuin hal yang aneh-aneh, kan?” tanya ayahnya tiba-tiba, membuat Ningning dan ibunya berhenti makan dan menatap Renjun dan ayahnya secara bergantian.

Renjun mendongak. “N-Nggak lah,” ia tertawa pelan, mencoba terlihat santai.

“Ayah beru cek tabungan kamu lagi kemaren.” Ucap ayahnya. “Kamu pakai buat apa aja itu?”

“Uangnya?” tanya Renjun gugup.

“Ayah emang kurang ngontrol kamu, tapi kayaknya kamu pakai uang tabungan buat sesuatu yang besar, ya? Bunda bilang, uang sehari-hari kamu dan biaya sekolah nggak diambil dari situ.”

Iya, Renjun menghabiskan uangnya untuk Seoyeon.

Renjun memang cukup kaya sampai uang ditabungannya bisa habis untuk mencukupi biaya kos orang lain.

“N-nggak kok, Yah—“

“Kamu nggak pakai narkoba kan, Renjun? Atau ikut balapan liar? Atau—“

“Astaga, Yah. Aku nggak mungkin kayak gitu.” Tukas Renjun dengan suara meninggi.

Tiba-tiba suasana berubah menjadi dingin di meja makan tersebut.

“Bunda bilang kamu juga beberapa hari alasan nginep di rumah Jeno.” Ucap ayahnya itu. “Bener kamu cuma nginep di rumah Jeno?”

Renjun mengangguk. Ayahnya mendesah pelan sambil menatap khawatir anaknya.

“Renjun,” panggil ayahnya. “Ayah nggak akan kasih kamu ke Melborne.”

“Hah?“ Renjun menelan ludahnya dengan susah payah. “Tapi—“

“Lagian kenapa kamu tiba-tiba mau kesana?”

“Aku mau ngejar pendidikan yang setara kayak Ayah kuliah disana, kan Ayah sendiri yang nyuruh dulu. Lagian, emang Ayah nggak percaya apa sama aku? Emang dari dulu aku pernah bikin masalah?” cecar Renjun. "Aku janji bakal nyanggupin ambil double degree disana."

Ayahnya menatap anaknya itu dengan tegas. “Ayah punya feeling yang buruk sama kamu. Maaf, Ayah nggak bisa percaya sama kamu setelah liat uang yang sebanyak itu bisa hilang cuma-cuma dari tabungan apa pun itu alasannya.”

Winwin menatap Renjun dan ayahnya khawatir. Ia tidak berani untuk ikut bicara saat ini. Namun Winwin tahu, bukan hanya uang tabungan Renjun yang menjadi masalahnya. Ada sesuatu yang lebih buruk dari itu.














DAREDEVIL:
the point of no return








ini grup (4)

haechan
woy
kumpul napa

haechan
nyet

jeno
apa sih chan?

jaemin
kagak bisa gua

renjun
gua ga bisa

haechan
hilih sok sibuk

jeno
ya emangnya elu gabut

Haechan menutup chatroom grupnya dan beralih untuk mengirimi Jeno pesan pribadi.

haechan
no
gua ke rumah lu ya

jeno
mau ngapain?
numpang makan?

haechan
ya kali bangsat

jeno
santai anjing

haechan
dimana lu?

jeno
diluar

haechan
gua perlu ngomong sama lu

jeno
sibuk gua

haechan
alesan lah
takut amat mau gua temuin?

jeno
takut apaan

haechan
dimana lu
gua susul kesana

jeno
ribet setan
gua lagi sibuk

Haechan tidak membalas chat Jeno yang terakhir. Ia langsung memakai jaketnya dan mengambil kunci motor.

Percuma untuk memaksa Jeno bertemu saat ini. Haechan tahu tempat apa yang harus dia datangi kali ini.











DAREDEVIL:
the point of no return

DaredevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang