"Keluar atau gue paksa lo buat keluar?"
Siyeon langsung menutup sambungan teleponnya. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar suara peneror itu. Rasa takutnya juga semakin membesar dan otaknya kesulitan untuk mencari jalan keluar.
Nancy
yeon
telepon gue
jangan lo lepas kontak sama gue
angkat telepon gue
siyeon
PARK SIYEONDrrtt... Drrtt...
Nancy
Siyeon langsung mengangkat sambungan telepon Nancy dan menempelkan ponselnya di telinga.
"SIYEON?!" teriak Nancy.
Braak!
Pintu kamar Siyeon dipukul dengan keras dari luar.
Siyeon refleks berteriak ketakutan.
Dug! Dug!
Hantaman di pintu itu semakin kencang, mendorong pintu yang terkuci sehingga hampir membuka.
"Siyeon?! Lo disana?!" suara Nancy terdengar di telepon.
"Cy... Gue udah gak bisa tahan. Gue takut." Lirih Siyeon. "Polisi... Kapan dateng?"
Braaak!
Satu hantaman lagi, dan pintu itu kini berhasil terbuka.
Siyeon menjerit ketakutan. Ia menggenggam erat ponsel dan stik golf di tangannya.
"PERGI!" bentak Siyeon.
Kini ia dapat melihat seorang lelaki yang memakai jaket biru bermotif garis-garis dengan tudung yang menutupi kepalanya, sebuah topi dan juga topeng berwarna merah di wajahnya tengah berdiri di ambang pintu kamar. Orang itu memegang sebuah tongkat besi.
"Jangan bunuh gue..." Siyeon memohon. Tubuhnya sudah ambruk dilantai.
"SIYEON!" Nancy berteriak di sambungan telepon. "SIYEON LARI DARI SITU!"
Siyeon menggeleng dan menangis. Tubuhnya sudah lemas karena ketakutan.
Lelaki misterius itu kini melangkah pelan mendekati dirinya. Siyeon langsung memasukan ponselnya itu ke dalam saku celana dan mencengkram kuat stik golf dengan kedua tangannya.
"Pergi! Gue mohon, pergi!" rengek Siyeon.
Orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suaranya, melainkan kini mencengkram lengan Siyeon dan memaksanya untuk berdiri.
Siyeon menjerit.
Stik golf yang ia siapkan tadi sudah ia lepaskan karena panik.
Siyeon mencoba melawan dengan memukul orang itu, namun dengan sigap lelaki itu menahan kedua tangannya. Menyeretnya ke tengah ruang kamar yang cukup luas itu.
"Lepasin gue!"
Dengan satu hentakan, tubuh Siyeon di dorong ke ke bawah, membuat punggungnya membentur lantai dengan kuat.
"Aaargh!" Siyeon mengerang kesakitan.
Orang itu, tanpa bicara, mengeluarkan pisau dari balik saku celananya. Siyeon benar-benar tak bisa menebak wajah siapa yang ada di balik topeng merah itu.
Siyeon mencoba memberontak dengan mendorong cowok itu. Kakinya juga sibuk menendang tubuh si peneror ini yang posisinya berada di atasnya.
"Pergi, bangsat!" teriak Siyeon.
Ia berkali-kali menendang dan memukul sampai akhirnya dirinya terlepas dan dapat berdiri.
Ia mencoba mengambil benda apa pun yang ditemuinya untuk di lemparkan pada orang itu, namun seakan sudah terlatih orang itu dapat dengan mudah menghindarinya.
"Pergi!"
Siyeon kali ini masuk ke dalam kamar orang tuanya. Lelaki bertopeng itu tetap mengikuti langkah Siyeon dan terus mencoba mendorong pintunya.
"Gue minta maaf! Gue udah bilang gue minta maaf!" teriak Siyeon sambil menangis dari dalam. "Gue nyesel!"
Tiba-tiba orang itu berhenti mendorong pintu yang Siyeon tahan. Tak ada jawaban. Ia masih bungkam sejak awal muncul tadi.
Hening.
Siyeon sesaat menahan napasnya, mencoba mendengarkan tanda-tanda ancaman dari luar.
Ia kembali mengambil ponsel yang ada disaku celananya. Panggilan telepon Nancy belum terputus sejak tadi.
"Nancy?" panggil Siyeon.
"YEON, JAWAB GUE!" pekik Nancy, ia terdengar menangis di ujung telepon.
"Gue gak bisa bertahan terus." Balas Siyeon dengan suara pecah.
Nancy masih terus terisak. "Gue udah kasih tau anak kelas yang kira-kira lagi di dekat sana supaya ke rumah lo. Jadi, seenggaknya tunggu siapa pun itu yang dateng!"
Braaaak!
Pintu kamar kembali didobrak.
"SIYEON!" pekik Nancy.
"AAAAAAAAH!"
Siyeon menjerit ketakutan, orang itu kini masuk ke dalam kamar sambil membawa pisau dapur di lengannya. Ponsel yang tadinya Siyeon genggam sudah jatuh entah kemana.
Lelaki bertopeng itu menahan kedua lengan Siyeon dan mengantamkan kepala gadis itu ke dinding. Tangan kanannya mencekik leher Siyeon dengan kuat, membuat cewek itu sama sekali tak berdaya.
"L-lepas..."
Orang itu mengacungkan pisau dapurnya.
"LEPASIN GUE!" teriak Siyeon. "Tolong... Gue mohon..."
Dan tanpa diduga, seakan menurut pada gadis itu, tiba-tiba orang itu melepaskan pisau yang tadinya sudah teracung ke arah wajah Siyeon dan membuangnya ke lantai.
Siyeon hanya bisa memejamkan matanya.
"A-apa salah gue sama lo?" lirih Siyeon sambil menahan rasa sakit yang luar biasa pada kepalanya karena hantaman tadi.
Orang itu memungut ponsel Siyeon yang sudah terjatuh dengan tangannya yang terbalut sarung tangan.
Siyeon terus mencoba bangun untuk berdiri, namun usahanya untuk tetap kuat gagal karena dibuat panik dengan adanya darah yang mulai mengalir dari bagian pelipisnya yang terhantam tembok dan lantai secara berulang kali barusan.
Lelaki itu kini berjalan menahan Siyeon dengan cara mencekik lehernya menggunakan sebelah tangan dengan posisi gadis itu tertidur di lantai. Sedangkan tangannya yang lain memegang ponsel Siyeon.
Orang itu kini mengaktifkan mode speaker pada panggilan Nancy. Entah apa tujuannya.
"NANCY! TOLONGIN GUE!" teriak Siyeon.
"SIYEON!" pekik Nancy disambungan teleponnya. "KELUAR DARI SANA!"
"Lepasin gue... Tolong. Gue bakal ngelakuin apa aja." ucap Siyeon dengan suara tertahan akibat cekikan di lehernya.
"SIYEON, LO HARUS KELUAR DARI RUMAH SEKARANG!" teriak Nancy. "SIYEON LO DENGER GUE?!"
Orang itu kembali menghantamkan kepala Siyeon ke lantai, membuat gadis itu berteriak kesakitan. Siyeon semakin ketakutan saat menyadari kalau orang itu kembali mengambil pisaunya.
"SIYEON! LARI DARI SANA! GUE UDAH CARI TAU NOMOR TADI. ITU NOMORNYA HYUNJIN!"
"H-Hyunjin?"
Siyeon kini baru menyadari jaket garis-garis berwarna biru tua yang dipakai lelaki itu.
Ia mengenalinya. Baru dua hari yang lalu lelaki itu tersenyum padanya sambil menyodorkan jaket tersebut.
Jaket itu jelas-jelas milik Hyunjin.
"Hyunjin?! Lepasin gue!" teriak Siyeon.
Sebelum Siyeon tersadar dari rasa terkejutnya, satu tikaman langsung menghujam lengan kanannya, membuat ia sontak menjerit kesakitan.
DAREDEVIL:
revenge