Bagian 26

6K 461 7
                                    

Kehidupan yang aku jalani di bandung berjalan dengan baik bahkan membuatku betah apalagi kenal dengan mbak leni yang begitu membuatku merasakan keluarga kecil.

Papah dan nadia sering berkunjung kemari begitupun aku yang juga sering menemui mereka kala memiliki waktu senggang, sedangkan hubunganku dengan varel masih saja bertatap muka lewat ponsel karena ia harus fokus kuliah agar cepat wisuda walau sesekali disaat libur i sering menyempatkan untuk menemuiku.

Papah juga selalu memberikan uang bulanan dan membayar biaya kuliah tanpa kuketahui karena setiap kali diberi selaluku tolak dengan alasan pendapatan jual barang online cukup untuk biaya hidupku walau sebenarnya pas-pas an.

Hari ini jadwal kuliah santai hingga bisa sedikit berleha-leha di kantin sedangkan mbak leni sibuk membaca koleksi novel di perpustakaan yang ia borong kemarin di toko buku saking takut kehabisan stok novel.

"Non bapak sakit,"ucap bi darsi panik setelah ku angkat telpon.

"Mamah sama kak widia kemana?,"kepalaku yang sedang bersandar di meja kantin akibat kelelahan lansung terbangun dengan tegak akibat panik.

"Ibu lagi pergi ke Bogor non, widia udah gak tinggal disini karena udah nikah lagi."

"Bawa papah kerumah sakit. aku pulang sekarang,"fikiranku sudah kalut mendengar penyakit papah yang mungkin kembali kambuh dan kemungkinan buruk juga bisa saja terjadi nantinya mengingat umurnya yang sudah tak lagi muda dan kesehatan yang tak urung pergi dari tubuhnya.

Begitu telepon terputus kaki ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu terminal bus bahkan tanpa sempat berfikir untuk membawa bekal pakaian dari rumah atau menyiapkan lainnya karena sekarang bertemu papah adalah hal yang menjadi prioritas bagiku. Setelah sampai di terminal, apesnya malah kehabisan tiket hingga terpaksa harus membeli tiket dari calo yang menjual dengan harga dua kali lipat karena sedang kebutuhan yang mendesak akhirnya ku ambil tiket itu tanpa mengingat betapa mahalnya. Perjalanan juga terasa begitu lama padahal rasa ingin cepat sampai sudah bergejolak daritadi hingga membuat duduk pun tak nyaman. Ketika waktu sudah sore akhirnya sampai juga di full terminal bus dan segera mencari angkutan umum ke arah rumah sakit yang sudah diberitahu oleh bi darsi.

Setelah membayar ongkos aku segera memasuki rumah sakit tanpa menghiraukan pandangan mereka yang menatap kearahku karena saat itu sedang terlihat lusuh akibat perjalanan jauh, jantungku semakin berdetak tak tentu ketika lengan ini memegang knop pintu yang terasa dingin dan penciumanku yang dipenuhi bau obat-obatan khas rumah sakit yang mengganggu, saat pintu dibuka papah terlihat lemah tak berdaya di bangkar rumah sakit, bahkan itu lebih membuat hati ini teriris sakit dari sebelumnya ketika mendengar papah harus dibawa ke rumah sakit.

Kulihati bi darsi duduk di sofa lalu tersenyum ketika melihat kedatanganku dan kubalas senyumannya lalu perlahan memasuki ruangan itu sambil terus menatap papah dengan nanar berusaha untuk menahan airmata yang hampir jatuh, kudekati papah dan kugenggam erat tangannya untuk memberikan kekuatan agar ia terbangun agar tau bahwa aku berada didekatnya untuk menemuinya.

"Dila pulang pah, katanya papah kangen sama dila, ayo papah bangun!, ayo kita jalan-jalan lagi, ayo kita makan dipinggir jalan lagi, "tangisku sejak tadi tertahan kini jatuh begitu saja hingga rasa sesak mendekap dada ketika melihat orang yang kusayang harus terbaring lemah. Tak ada jawaban dari papah sosok yang selalu tersenyum ramah dan menanyakan segala sesuatu tentangku namun kini hanya suara pendeteksi detak jantung yang terdengar seolah mengganti ucapan papah yang terbaring lemah.

"Mamah udah tau bi?,"tanyaku tanpa menoleh pada bi darsi.

"Ibu sudah tau non, katanya besok baru bisa pulang dari bogor,"tak sepenting itu kah papah sampai mamah bisa dengan santai mengesokan kepulangannya.

Ketika Tuhan Kita Berbeda [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang