Pagi ini Nadia sudah sibuk menelpon agar aku segera datang untuk menemaninya di malam terakhir melajang hingga aku segera bersiap dengan cepat, tak lupa membawa kado pernikahan untuknya dan beberapa setel baju yang penting saja karena kebutuhan sisanya bisa meminjam milik Nadia.
Saat sampai di rumahnya, ia sudah ngomel karena kedatanganku yang datang pada H-2 padahal inginnya aku datang di H-5 atau H-7 hingga omelan tak begitu penting tentang kuku palsu yang sudah ia beli hilang padahal stok di toko masih banyak, berat badan yang naik satu kilogram yang membuat baju pengantin menjadi sesak saat dipakai, potongan rambut yang terlalu pendek dan lainnya lagi yang membuat rasa lelah diperjalanan bertambah setelah mendengar ocehan Nadia yang begitu heboh, mungkin ini yang dinamakan sindrom pengantin.
"Nadia plis! kamu jangan lebay dong, sebentar lagi kamu mau nikah tapi tetep aja ceroboh dan ribet,"ucapku yang begitu lelah dengan masih berdiri di ambang pintu dengan bertumpu pada koper.
"Tapi dil aku tuh nervous banget tau, segala hal negatif kayanya terus aja kepikiran,"jawab Nadia dengan muka manja dengan kerutan bibir.
"Kamu harus tawakal, udah deh nanti bakal aku bantuin asal jangan nyusahin banget,"jawabku menenangkan.
"Ya ampun Nadia! Kok kamu ada disini? Kan lagi di pingit!,"omel mamah Nadia saat melihat putrinya keluar kamar, lalu ku salami mamah Nadia.
"Eh iya mah lupa abisnya tadi seneng banget pas liat Dila dateng mah,"Nadia masih saja tak peduli pada hal yang dianggap penting bagi orang lain, ia malah cengengesan dan bergelayut manja pada mamahnya agar tak dimarahi lagi.
"Iya ni mah, sampe Dila aja gak di suruh masuk atau istirahat juga enggak nih,"aduan ku pada mamah Nadia yang ku panggil mamah karena keinginan beliau.
"Yaudah ayo masuk, istirahat juga, kamu bisa pake kamar disebelah-."
"Dila tidur sama aku mah!,"rengek nadia yang di iyakan saja oleh mamahnya karena sudah lelah mengurusi semua persiapan nikah yang tak bisa mengatur sendiri.
Nadia mengajakku ke kamarnya yang belum di hias namun sudah terlihat rapi.
Malam ini Nadia tak bisa tidur, ia terus saja berguling kesana kemari membuat tubuhku yang berada disisinya terasa dihantam gelombang karena mengikuti ritme kasur, tak seperti biasanya yang mudah tidur dimanapun dan kapanpun.
"Malem ini sama malem besok aku masih bisa tidur sama temen apalagi sama kamu tapi malem nanti harus tidur sama Alvin terus dil,"ucap Nadia menderamatisir keadaan.
"Lah itukan emang udah kewajiban kali Nad, lebay banget,"jawabku bete dengan pertanyaannya.
"Ya kalo gitu sekarang aku mau puas puasin tidur sama sahabat acu yang paling the best,"ucap Nadia langsung memelukku gemas hingga rasa sesak nafas mendera.
"Aahhhh Nadia apaan sih ihh, lepass!,"ucapku risih dengan perlakuannya yang seperti anak pada ibunya.
Setelah rangkaian acara dari mulai pengajian, siraman dan akhirnya tadi pagi akad lalu sekarang resepsi dari sore hingga malam digedung yang sudah disewa membuatku lelah sendiri ketika menjadi asisten pribadi Nadia yang menjadi ratu sehari.
Nadia dan alvin begitu cocok dan relationship banget karena mereka hubungan dari Nadia kelas satu SMA terus berlanjut hingga kuliah lalu sekarang final di pelaminan, jadi beruntung sekali Nadia bisa menjadi jodoh Alvin dan menjaga jodohnya dari SMA, ia juga seolah pelengkap Alvin yang senang menjadi pemimpin dan dibutuhkan karena Nadia tipe manja dan bergantung.
Dan aku yang jadi pendamping wanita di pernikahannya kerjaannya hanya berkeliling saja bahkan tak ikut serta dalam pelemparan bunga pengantin yang mitosnya agar cepat nikah bila mendapatkannya dan aku hanya masa bodo dengan apalah itu karna yang penting aku menikmati sate ayam yang ada di stan parasmanan sambil melihat mereka yang berebut bunga namun aku tak bisa melihat siapa yang akhirnya mendapatkan bunga pengantin itu karena terhalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Tuhan Kita Berbeda [TAMAT]
RomansaSebuah rasa memang tak tentu harus jatuh pada siapa, kapan dan bagaimana karena itu sebuah naluri alami manusia, namun bagaimana jika rasa itu datang pada hal yang tak bisa kita miliki dan harus mengorbankan kepercayaan untuk bisa bersama? Ataukah m...