Prolog

5.3K 209 14
                                    

Kupacu langkah sekencang mungkin begitu menjejakkan kaki di lantai keramik putih sebuah rumah sakit terbesar di Ibu kota. Rok putih yang kukenakan berkibaran saking cepatnya aku berlari. Dengan jantung yang berdetak tak kalah cepat hingga rasanya menyempitkan paru-paru yang kekurangan pasokan oksigen.

Seorang wanita cantik dengan wajah cemas menyambutku yang berlari ke arahnya.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku tersenggal. Wanita itu hanya menggeleng tidak pasti, dia pun bingung apa yang harus dikatakan padaku.

"Sabar ya, Kak! Kita cuma bisa nunggu sekarang." Aku mengangguk dengan kebingungan yang teramat sangat.

Bagaimana tidak? Baru satu jam yang lalu pria di dalam ruang operasi sana menelepon, menyuruhku bersiap karena dia akan mengajakku makan malam merayakan hari jadi pernikahan kami yang ke empat. Lalu tiba-tiba saja nomor asing menelepon mengatakan bahwa suamiku mengalami kecelakaan di jalan tol.

Baru saja aku membayangkan hal romantis apa yang akan dia beri padaku hari ini. Baru saja hatiku ditumbuhi bunga-bunga indah karena kepulangannya setelah dua hari ini dia pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Mendadak, taman bunga di hatiku hancur seketika mendengar kabar yang menimpanya.

"Charlene! Bagaimana Arnold? Bagaimana kondisinya sekarang?" Seorang wanita yang hampir menginjak usia enam puluhan datang dengan wajah sama persis sepertiku. Cemas, risau dan khawatir bercampur menjadi satu. Dan jawaban yang diberikan Charlene sama seperti ketika aku menanyakan kondisi Arnold padanya.

Carol Vincentino, ibu mertuaku. Seorang keturunan Indonesia - Italia yang berwajah menawan meski usia tidak lagi muda. Dia terduduk lemas agak jauh dariku sambil memeluk Charlene, anak keduanya, adik iparku. Kami sama-sama dalam keadaan was-was menunggu kabar dari dalam.

Operasinya berjalan lama, hingga membuatku berpikir, seberapa parah luka yang dialaminya? Ahh, aku tidak sanggup membayangkan bagaimana keadaannya di atas meja operasi sekarang.

Dalam hati aku hanya bisa berdoa, memohon pada Sang Maha Kuasa demi keselamatan dia dengan air mata yang berurai tak tertahankan. Menetes satu demi satu membuat genangan di pipiku.

Seseorang menyodorkan kaleng minuman dingin kepadaku. Aku menoleh dan mendapati wajah Peter yang tertunduk penuh penyesalan.

"Aku sudah melarangnya untuk menyetir sendiri dalam keadaan lelah, dan menyuruhnya untuk menungguku menjemput. Tapi, dia bilang ingin secepatnya menemuimu karena hari ini hari spesial kalian," jelasnya dengan suara pelan.

Peter adalah orang kepercayaan Arnold dan sudah menjadi tanggung jawab Peter untuk memastikan keselamatan Tuannya.

"Tidak ada yang tahu kapan musibah akan datang. Kita berdoa saja supaya Allah memberikan yang terbaik untuknya." Aku mencoba membesarkan hatinya yang terlihat begitu menyesal. Aku pun butuh dukungan moral sebenarnya, aku butuh orang yang bisa membesarkan hatiku, mengingatkanku kalau dia akan baik-baik saja.

Sungguh, duduk sendiri di sini menunggu kabar dari ruang operasi begitu berat untukku. Kenapa tidak berbaur saja dengan ibu mertua juga adik ipar untuk berbagi rasa cemas?

Apalah arti diriku. Aku hanya seorang menantu yang tak diinginkan.

Meski kami telah menikah selama empat tahun, ibu mertuaku belum mau menerimaku sebagai menantu. Berbeda dengan Charlene, dia orang baik. Berkali-kali dia menoleh padaku, memastikan kondisiku baik-baik saja di tengah kekalutan Carol yang berurai air mata dalam pelukannya. Aku mengangguk setiap kali mata kami bertemu pandang. Mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.

Ya, aku baik-baik saja. Mungkin.

Jam demi jam bergulir dengan lambat. Detik demi detiknya berlalu dengan amat menyiksa, menunggu kepastian kondisinya di dalam sana. Dan, waktu itu pun tiba. Seorang pria berpakaian hijau khas kostum operasi keluar dari balik pintu putih yang sangat mencekam. Carol dan Charlene menjadi orang pertama yang menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana keadaannya? tanya Carol dengan tidak sabar.

"Operasinya berjalan lancar, namun karena benturan yang terlalu keras di kepalanya saat ini dia dalam keadaan koma." Aku menguatkan kaki demi mendengar kelanjutan penjelasan Daniel. Aku belum bisa memastikan kapan dia akan bangun dan apa yang akan terjadi setelah dia bangun nanti. Semua tidak bisa terprediksi secara tepat."

Seluruh tubuhku terasa lemas seketika. Aku melempar punggungku ke dinding, berharap dinding yang dingin itu dapat menopang sebagian diriku yang sudah jatuh. Lagi-lagi hanya air mata yang sanggup aku keluarkan. Aku tahu, mata Daniel sibuk mengawasiku. Sama halnya seperti Charlene yang memastikan kondisiku, begitu pun Peter yang berdiri di sampingku, menjagaku dalam diam. Mereka semua khawatir melihatku yang hanya diam dengan cucuran air mata yang merembes dari mataku.

"Apa aku boleh melihat keadaannya?" tanya Carol dengan air mata yang juga tak hentinya turun.

"Tentu. Setelah dia dipindah ke ruang ICU," ucap Daniel sambil sesekali melirik ke arahku.

Aku memaksakan menarik bibirku ke atas. Memberi tanda kalau aku baik-baik saja, meski siapa pun yang melihat akan tahu kalau tidak ada yang baik-baik saja di sini. Charlene mengajak Carol ke ruang ICU, dia mengangguk padaku, memberi isyarat untuk mengajakku ikut bersamanya. Aku berjalan perlahan di belakang Charlene yang menopang Carol. Dan Peter, dia berjalan sangat lambat di belakangku.

Lagi-lagi aku harus mengalah ketika perawat hanya mengizinkan satu orang untuk masuk melihat keadaan Arnold. Aku hanya bisa menatapnya lewat kaca pintu, melihatnya terbaring lemah dari kejauhan. Tiba-tiba Charlene berdiri di sampingku, merangkul pundak, memberikan kekuatan yang sedari tadi aku butuhkan.

Aku bisa sejenak menumpahkan sedikit kecemasanku di pundak kecil adik iparku. Berbagi risau sambil memperhatikan dia di dalam sana.

Carol keluar dengan lebih banyak air mata yang menyertai. Aku tahu, seberapa hancur perasaannya saat ini. Aku seorang ibu dan aku paham betul.

"Mommy akan mencari rumah sakit terbaik. Kita pindahkan dia ke luar negeri yang memiliki alat medis yang mumpuni," ucapnya sesaat setelah dia mampu meredakan emosi. Cari informasi rumah sakit terbaik, negera mana pun itu kita bawa Arnold ke sana," lanjutnya menatap Daniel, memberi perintah dan dibalas dengan anggukan.

Tanpa menoleh sedikitpun padaku, Carol pergi diikuti oleh Charlene dan Daniel untuk mengantar kepulangannya. Tinggal aku sendiri, ditemani Peter yang diam bergeming di belakangku. Aku masih menatapnya dari balik pintu yang tertutup rapat. Ingin rasanya aku dobrak pintu ini demi sekadar mengusap wajah pucatnya. Aku mengangkat tangan, menempelkannya di pintu kaca, mengelus kaca itu seolah mengusapnya dari kejauhan.

Masuklah! Aku tersentak kaget oleh suara Daniel yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

"Bukannya perawat tadi hanya mengizinkan satu orang yang masuk?"

"Buat kamu pengecualian. Dia tersenyum hangat. Aku tahu seberapa inginnya kamu masuk ke sana buat melihat kondisinya langsung. Ayo!" Daniel mengajakku sambil membuka pintu yang membatasiku dengannya. Aku melangkah dengan ragu.

"Masuk saja, aku dokter yang bertanggung jawab di sini," ucapnya meyakinkanku.

Aku masuk dan diberi pakaian khusus agar steril. Daniel keluar, memberiku waktu berduaan dengannya. Perlahan aku berjalan mendekatinya yang terbaring lemah. Semakin dekat rasanya kakiku semakin lemas. Ragaku merosot sedikit demi sedikit. Apalagi setelah aku berdiri di samping ranjang, melihatnya terlilit berbagai macam kabel dan selang yang terhubung dengan tubuhnya.

Wajahnya pucat pasi dengan perban yang membebat ketat kepalanya. Alat bantu pernapasan terpasang menembus tenggorokan. Entah seberapa sakitnya saat alat itu terpasang di sana. Aku menarik kursi, menjatuhkan tubuh yang lemah di atasnya. Aku ikut sakit melihatnya sakit. Aku ikut lemah melihatnya tak berdaya.

Ya Allah, kenapa jadi seperti ini?

Air mata dan hanya air mata yang sanggup aku keluarkan untuk meluapkan rasa sakit.

***

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang