CDPS 14

1.2K 127 10
                                    

SUMMER

Aliyyah

Kulangkahkan kaki secepat mungkin menelusuri jalanan. Tak kurasakan terik matahari yang kian memanas di atas kepalakku. Keringat mulai merembes di dahi. Padahal jarak yang kutempuh tidaklah jauh.

Napasku terengah ketika sampai di pintu kaca besar rumah sakit. Udara sejuk langsung menyambut ketika kudorong pintu itu. Aku mengangguk pada beberapa perawat yang sudah kukenal. Bolak-balik mengurusi Arnold menjadikan mereka mengenalku.

Perawat di rumah sakit ini luar biasa ramah. Senyum selalu terukir di bibir mereka menyapa siapa saja yang berpapasan. Berlaku dengan sopan dan baik terhadap semua pasien di rumah sakit.

Kalau bukan karena telepon Charllene barusan, mungkin aku tidak akan datang ke rumah sakit untuk mengurusi Arnold. Carol masih menunggui Arnold dan itu menjadi bencana bagi Charllene.

Carol tidak pernah bisa mendekatkan diri kepada anak-anaknya. Puluhan tahun hidup Charllene, dia sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali Carol tersenyum manis padanya. Atau meluangkan waktu untuk sekedar mendengar keluh kesah anak-anaknya. Dia terlalu sibuk dengan dunianya.

"Aku tidak mau, Mom!" Teriakan Arnold terdengar sampai ke depan pintu ruang inapnya.

Ada apa ini?

Aku segera membuka pintu, dan menyaksikan kekacauan antara ibu dan anak. Carol berdiri dengan tangan memegangi piring sedangkan Charllene berdiri di belakangnya dengan kikuk.

"Kau harus makan!" pekik Carol yang menyodorkan garpu pada Arnold.

"Aku tidak mau! Kemana Aliyyah? Aku ingin dia yang menyuapiku!" Arnold menolak dengan menampik tangan Carol yang menyebabkan makanan berhamburan di ranjang.

"Kenapa kau begitu bergantung pada wanita itu? Lagipula, tanganmu baik-baik saja. Kenapa tidak digunakan?" teriak Carol semakin kesal, menyimpan piring di meja setengah membantingnya.

"Mommy sudahlah." Charllene berusaha melerai Carol, memengangi pundak wanita itu untuk menenangkannya.

"Apa hebatnya wanita itu? Bahkan, dalam keadaan sakit pun kau tetap menginginkannya."

Carol berbalik hendak pergi, tapi langkahnya terhenti ketika melihatku berdiri di ambang pintu. Dengan helaan napas kasar, dia menghentakkan kaki. Melangkah melewatiku dengan menabrakkan pundaknya ke pundakku dengan kasar. Tubuhku oleng, untungnya tidak sampai terjatuh.

"Untung kau datang. Dia menanyaimu terus," ujar Charllene lega melihatku. "Aku akan menyusul mommy, kau urus Kak Arnold," lanjutnya dengan langkah tergesa mengejar Carol.

Aku menghampiri Arnold yang bergeming di atas ranjang. Matanya tajam menatap layar televisi dengan pikiran melayang entah kemana. Selimutnya belepotan saus krim dan pasta fettucini. Pun dengan pakaian dan pinggiran bibirnya. Carol memaksakan garpu berisi fettucini itu ke dalam mulut Arnold. Terang saja dia marah.

Aku mengambil pakaian ganti untuk Arnold di lemari kecil di sisi ranjang. Meraih salah satu piyama berlogo rumah sakit. Selama di sini, Arnold selalu mengenakan pakaian yang sama setiap hari --piyama rumah sakit. Selimut yang sama dan sprei yang sama pula. Dan semuanya bernuansa biru pucat.

"How are you today?" sapaku seramah mungkin dengan senyum yang biasa kutunjukkan padanya.

"Bad. Very bad." Ya, terlihat dari caramu menatap tajam televisi.

"Aku bantu mengganti pakaian Anda."

Dia diam. Terus menatap televisi dengan raut wajah keras. Emosinya masih dipuncak. Napasnya masih naik turun tak beraturan.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang