SUMMER
Aliyyah
Langit masih secerah kemarin dengan beberapa kumpulan awan terbang menghiasi. Matahari pun masih semangat dengan teriknya untuk bumi. Namun, udara tidak sepanas biasanya. Angin yang bertiup terasa lebih dingin. Dedaunan sudah mulai menguning perlahan. Akhir musim panas adalah saat terbaik menghabiskan waktu berlibur tanpa takut matahari menyengat. Udara sudah lebih bersahabat.
Begitupun dengan keadaan Arnold yang semakin baik dari hari ke hari. Bahkan, kini dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan kruk meski masih pincang dan belum stabil. Seperti dugaanku, dia akan cepat pulih. Semangatnya luar biasa tinggi untuk sembuh. Apalagi melihat wajahnya yang semakin ceria, sekaligus bisa berubah mood secara drastis.
Aku sendiri heran dengan sikap Arnold. Sebentar dia terbahak tapi di detik selanjutnya berubah menjadi ice man. Dingin, tanpa senyum. Yang ada hanya raut wajah datar tanpa ekspresi. Setelah dipikir, sikapnya berubah saat bertemu Galang. Entah, ada apa dengan dirinya dan Galang sampai bertemu pun dia enggan.
Seperti beberapa waktu yang lalu saat kami tidak sengaja bertemu di Lindenhof Park. Aku sengaja membawa bekal sarapan ke taman supaya bisa sambil menikmati pemandangan indah serta hangatnya matahari pagi. Semula semua baik-baik saja, tapi kemudian berubah saat Galang menghampiri dan ikut duduk bersama kami.
Seketika, Arnold menyimpan sandwich ke dalam wadah dengan setengah membanting lalu berkata, "aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Padahal kami belum lama berada di sana. Dalam hati aku tersenyum melihatnya merajuk. Ada secercah harap yang kugenggam, yang mungkin bisa untuk menarik hatinya kembali.
***
"Sedang apa?"
"Auch!" Aku memekik pelan ketika ujung jariku terkena pisau. Aku sedang mengiris bawang merah untuk bahan masakan nanti malam dan Arnold tiba-tiba datang mengagetkanku. Mungkin juga salahku, karena aku melamun.
"Kenapa?" Dia menghampiriku dan terkejut melihat darah di jari telunjuk.
"Tidak apa-apa." Aku segera mencuci tangannya demi menghentikan darah yang mengalir.
"Maafkan aku mengagetkanmu," ucapnya sambil meraih tanganku dan mengamati luka sayatan di sana.
Dengan tarikan halus, dia menyuruhku duduk. Mengambil kotak P3K untuk mengeluarkan obat antiseptic dan plester. Hati-hati sekali dia mengoles obat dengan bantuan kapas lalu menempelkan plester.
Mataku tak berkedip memandanginya. Melihat sorot khawatir di matanya membuatku semakin teriris. Gerakan tangannya begitu lembut, menjaga agar aku tidak kesakitan. Padahal itu hanya luka kecil. Ada luka yang lain yang jauh lebih besar.
Tanpa kusadari, setetes air mata meluncur turun. Aku benar-benar merindukannya. Dia ada di hadapanku tapi aku tak bisa apa-apa untuk meluapkan rasa rindu ini. Rindu yang semakin hari semakin sesak menghimpit setiap inchi tubuhku. Rindu yang semakin lama semakin menjamur di tiap sel tubuhku. Demi Tuhan, aku merindukannya.
"Apa ini begitu sakit hingga kau menangis, hmm?" Dia menyadari tangisanku, dengan lembut dia menyeka air yang menggenang di pipiku. Aku tak tahan melihat tatapannya.
Aku tersenyum canggung, mengelap pipiku menggantikan jarinya yang baru saja hinggap di sana. "Hmm, sakit," ucapku seraya menarik tanganku dari tangannya. Iya, aku sakit, tapi bukan karena luka ini. Ada luka tak kasat mata yang jauh lebih dalam terbuka menganga di pusat jantungku.
"Cengeng," candanya. Mau tak mau aku terkikik mendengarnya.
"Hmm, aku memang cengeng."
"Kasar sekali ujung jarimu," ujarnya sambil mengamati satu per satu jari tangan kiriku. Aku terkikik lagi menanggapi ucapannya. Ujung jariku memang kasar, kulitnya menebal karena terlalu sering menekan senar gitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romansa[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...