Scene Terbaper Versi Othor

590 23 10
                                    

==SEBLAK SEUHAH==
°
°
°

Kalian tahu? Scene mana yang paling menguras emosiku waktu menulis.

Nangis tersedu-sedu bukan karena kepedesan makan seblak, yaa 😂

Bab Aku Ingin Pulang

Dari awal menulis bab sampai akhir, nggak hentinya air mata ini meluncur bebas. Untungnya, waktu itu aku pas sendiri jadi ya bebas aja nangis tanpa ketauan. Tau-tau mata bengul aja, merah-merah hahahah

Penasaran isinya kayak apa?
Ada nih di bawah. Aku bagi sepotong aja ya 🤭😘

°^°^°^°^°^°^°^°

Versi novel halaman 224-227

Rinduku seakan sampai. Ponsel yang tersimpan di nakas berdering dan nama Ibu tertera di layarnya. Apa ini yang disebut sebagai ikatan batin antara ibu dan anak? Apa Ibu juga merasakan sakit yang kurasa?

Aku mengusap air mata, mematikan lampu ruangan dan menyalakan satu lampu tidur di nakas, agar sisa-sisa tangis tidak terlihat olehnya. Aku tak mau Ibu sedih melihatku menangis. Menderita dalam kubangan lumpur masa lalu yang Arnold ciptakan.

"Assalamualaikum, Bu!" sapaku dengan suara parau saat terlihat gambar Ibu di layar.

[Bundaaaa!] teriakan Manda melengking tajam menyambut sapaanku disusul dengan tersedu-sedu.

"Iya, Sayang. Nda kenapa? Kok belum bobo jam segini?"
Ibu membaringkan Manda di ranjang setelah membujuk si mungil untuk turun dari pangkuannya. Tidur menyamping sambil memegang ponsel.

"Kenapa, Bu?" pandanganku beralih pada Ibu yang ikut berbaring di belakang Manda. Tangisnya belum berhenti dan Ibu masih membujuk agar menghentikan rengekkan gadis kecilku.

[Manda sakit. Badannya panas.]

Ya, Allah. Pantas saja hatiku kacau balau sejak tadi. Ternyata, belahan jiwaku yang tinggal nun jauh di sana sedang sakit.

"Sudah ke dokter?" Aku melihat Manda yang menempel pada Ibu. Wajahnya memerah dihiasi air mata juga ingus yang balapan ingin membasahi wajah imutnya. Pun dengan rambut ikalnya yang sudah tidak beraturan.

[Sudah, tapi karena tangis yang tidak berhenti, panasnya belum turun.]

"Nda kenapa belum bobo? Ini, kan, sudah malam," tanyaku pada Manda.

Aku memposisikan diri tidur menyamping menghadap ponsel. Membayangkan Manda benar-benar ada di sampingku. Dia memang ada, tapi tak bisa kupeluk.

[Nda kangen Bunda. Bunda kapan pulang?] ucap gadis kecil itu dengan suara sengau.

Aku menarik napas dalam, berusaha mati-matian untuk tak menangis di hadapan Manda.

"Bunda juga kangen banget sama Nda, sama Kak Rama, sama Nenek juga." Suaraku bergetar. Sakit mana yang bisa mengalahkan sakitnya menahan rindu pada buah hatinya sendiri.

[Bunda kapan pulang?] Nada manjanya membuatku gemas ingin mencubit pipi tembabnya.

"Soon!" jawabku yang dibalas dengan ciuman jarak jauh dari Manda. Otomatis aku tergelak dengan tingkah lakunya. Dia mengira kata 'soon' yang kuucapkan sebagai 'sun' yang berarti cium.

"Nanti, Sayang. Sebentar lagi Bunda pulang."
Tanpa papa tentunya.

[Papa mana, Bunda?] Aku mendesah pasrah mendengar pertanyaan Manda.

"Papa lagi bobo. Papa, kan harus banyak istirahat.” Jawaban yang selalu sama jika dia bertanya tentang papanya.

[Papa juga pulang sebentar lagi, Bunda?]

Kembali, aku menelan air mata yang sudah meluncur dengan susah payah. "Iya, Sayang."

[Nda juga kangen sama Papa,] rajuknya dengan bibir maju ke depan dengan lucu.

Ya, Tuhan, bagaimana aku bisa menjelaskan pada anak sepolos dia? Seberapa besar kekecewaannya nanti jika pria yang dirindukannya tidak ikut pulang bersamaku? Kehancuran seperti apa yang akan Manda rasakan jika tahu papanya melupakannya?

"Papa juga kangen sama Nda." Meski begitu, aku tetap berusaha membesarkan hatinya.

Kulirik Ibu yang berada di belakang Manda. Dia sibuk menyusut air mata. Hati ibu begitu lembut, perasaan sekecil apa pun akan membuatnya terenyuh. Aku tak bisa menahan air yang menggenang di sudut mata dan luruh seketika saat aku mengerjap.

[Bunda nangis?]

"Tidak, Sayang. Ada debu masuk barusan," kilahku sambil mengusap mata.

[Ih, di sana banyak debu, ya? Kok tidak dibersihkan, sih, Bunda? Jadikan ada debu terbang masuk ke mata Bunda.]

Lagi-lagi aku tertawa mendengar ocehan polos khas anak kecil. Usianya mendekati tiga tahun, tapi dia begitu pintar. Cerewet sekaligus menggemaskan.

"Sudah malam, Sayang. Nda bobo, ya," bujukku lembut. Dia pun menguap, terlalu lama menangis membuatnya letih.

[Mau dinyanyiin sama, Bunda,] pintanya dengan mata setengah terpejam.

"Oke, tapi Nda bobo, ya?" Dia mengangguk. Matanya sudah sayu, tidak lama lagi dia akan tertidur.

"Bubuy bulan. Bubuy bulan sangrai bentang." Aku menyanyikan lullaby favoritnya.

Manda langsung memejamkan mata sambil mendengarkan suaraku. Kuarahkan telunjuk pada layar ponsel, mengusap wajah imut Manda seolah dia nyata ada di depanku. Semakin lama suaraku semakin menghilang. Tenggelam dalam genangan air mata di atas bantal. 

Mungkin inilah saatnya, aku harus pulang. Ada seseorang yang setia menantiku di sana. Ada rumah yang akan menjadi tempatku bernaung. Ada tangan yang akan selalu terbentang lebar menyambutku.

Ya, aku harus pulang.

°^°^°^°^°^°^
Penasaran, kan? Nggak puas nangisnya kalo cuma sepotong.

Cuus deh, langsung pesan aja novelnya #Cinta_di_Penghujung_Senja
Murah aja, kok
Cuma 80.000 udah dapat novel, ganci dan tottebag juga TTD 😍

wa.me/6289662791503

me/6289662791503

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang