SPRING
Aliyyah
Aku berjalan gontai menyusuri lorong hotel menuju kamar tempatku menginap. Kupaksakan kaki untuk melangkah hingga tiba di depan ruang kamar. Bergegas kumasukkan pass code menekan OK dan pintu pun terbuka. Lagi, kuseret kaki agar bisa segera sampai ke ranjang dan merebahkan tubuh.
Kepalaku terasa pening. Berat sekali. Seperti ada batu besar yang bertengger di atas kepala. Memaksa tubuhku untuk jatuh. Beruntung, kakiku masih kuat menyangga tubuh dan mengantarkannya pada satu set ranjang kualitas tinggi.
"Aku kira Kakak tidak akan pulang malam ini." Charllene baru keluar dari kamar mandi saat aku mulai memejamkan mata.
"Hmm." Aku bergumam untuk membalas ucapannya.
Mataku sulit untuk terbuka. Kepalaku semakin berat saja rasanya.
"Kakak kenapa?" Terdengar langkah kaki Charllene mendekatiku. Menyentuh bahu dan kening secara bergantian. "Astaga, kau demam."
"Aku tidak apa-apa. Hanya butuh tidur."
Kurasakan dia beranjak dari sisi ranjang. Entah kemana tapi kemudian kembali lagi sambil memaksaku bangun."Minum obat dulu, Kak." Dia mendudukkanku, menyodorkan gelas berisi air putih juga obat. Aku menurutinya, menelan obat itu berharap akan mengurangi sakit kepalaku.
"Kau terlalu lelah. Semestinya kakak masih harus banyak beristirahat. Kau masih dalam masa pemulihan."
"Aku tidak apa-apa." Aku mengusap tangannya. Meyakinkan dia kalau aku baik-baik saja.
Charllene berlutut di hadapanku, dengan hati-hati dia membantuku melepaskan jarum yang menahan jilbab pink pastel di kepalaku. Melipat rapi lalu menyimpannya di keranjang laundry.
"Jika akan kau simpan di situ, kenapa harus dilipat terlebih dahulu?" Aku terkikik melihat kelakuannya.
"Ah, iya juga." Sepertinya dia bingung sendiri dengan tingkah lakunya.
Dia kembali dengan satu setel piyama untukku. Aku menarik napas, mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari ranjang. Ruangan ini seperti berputar. Bergoyang dan membuatku jatuh terduduk di lantai setelah mencoba berjalan beberapa langkah.
"Kak!" Dengan sigap Charllene memboyongku kembali ke ranjang. Menidurkan dan menyelimutiku. "Kakak tidak apa-apa?" Nada suaranya terdengar begitu khawatir.
"Aku hanya perlu beristirahat."
"Baiklah, kalau begitu tidurlah!"
Tak menunggu waktu lama bagiku untuk tenggelam dalam dunia gelap tanpa suara. Aku langsung terlelap begitu memejamkan mata. Dengan harapan, sakit kepalaku akan hilang saat terbangun nanti.
***
Tiga minggu sebelumnya...
Manda baru saja tidur siang, setelah seharian merengek ingin bertemu papanya. Rindu yang dirasakannya sama denganku yang tak sabar ingin cepat bertemu. Menunggu kabar darinya bagai menantikan keputusan antara hidup dan mati.
"Bunda, Papa kapan pulang?" Rama duduk bersandar di sampingku. Wajahnya lesu dengan bibir sedikit maju. Aku merangkulnya, mengelus puncak kepalanya dengan sayang.
"Nanti kalau sudah sembuh," jawabku berusaha tegar.
"Kapan, Bunda?"
"Secepatnya. Rama berdoa buat papa, ya. Semoga Allah segera menyembuhkan papa seperti sedia kala." Rama mengangguk pasrah, meskipun aku tahu, dia tidak puas dengan jawabanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romance[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...