SPRING
Arnold
Embusan angin bertiup lembut menerpa wajah. Terasa dingin menembus pori-pori tubuh. Aroma bunga musim semi menguar terbawa angin. Gemerisik dedaunan berkibaran, bergoyang mengikuti arah angin pergi. Beberapa di antaranya ada yang terjatuh. Pelan, begitu dramatis hingga menyentuh tanah tanpa protes.
Rerumputan yang tercukur rapi terhampar seluas taman. Bagai permadani hijau nan lembut. Menggoda kaki untuk berpijak di atasnya merasakan sejuk yang menjalar melalui tiap pucuknya.
Andai.
Andai aku bisa memerintahkan kaki ini untuk bergerak. Mungkin tubuhku sudah berkeringat saat ini. Lelah berlarian dengan lompatan-lompatan kecil seperti anak usia lima tahun yang tengah bermain.
Andai aku bisa membawa tubuhku sendiri mengelilingi taman ini. Mungkin seluruh tubuhku sudah penuh dengan potongan rumput yang menempel akibat bergulingan di atasnya.
Andai dan hanya ada andai.
Aku diam di bawah pohon maple dengan daunnya yang lebat. Ini pertama kalinya aku keluar sejak berada di sini. Merasakan embusan angin di bawah langit biru. Menatap hijaunya dedaunan di tengah teriknya sinar matahari. Menghirup udara bebas tanpa harus tercampur dengan bau obat-obatan.
Dia, Aliyyah --wanita yang membawaku kemari-- duduk bersila di atas rumput tepat di sampingku. Dengan wajah mendongak menatap langit. Memejamkan mata ketika semilir angin berembus menerpa wajahnya.
Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Matanya memang menatap langit, tapi hatinya seakan tak ada di sini. Melayang terbang bersama awan putih yang berarak kian menjauh.
Tiba-tiba dia menoleh menghadapku yang sedang menatapnya. Dengan senyum dia berdiri dan memposisikan tubuhnya di belakangku. Perlahan dia mendorong kursi roda, kembali masuk ke dalam rumah sakit. Kembali ke kamar yang mengurungku bagai penjara.
Ah, kenapa baru sekarang aku merasakan kamar itu bagai penjara? Padahal, kurang dari setengah jam yang lalu aku merasakan kamar itu adalah tempat ternyaman yang pernah ada.
***
Deru napas Tobias berembus kencang, sebaik apa pun dia berusaha menyembunyikan di balik tawa tetap saja, dada yang naik turun setelah mengangkatku ke ranjang menunjukkan betapa lelahnya dia.
Aliyyah membantu menyimpan kursi roda di sudut ruangan tak jauh dari ranjang. Menarik selimut untuk menutupi kakiku. Menyetel AC dengan suhu yang tepat agar aku nyaman. Gerakannya begitu gesit, padahal aku tahu dia sedang kurang sehat.
"Apa ada yang Anda perlukan lagi, Mister?" tanya Tobias. Aku menggeleng. "Baiklah, kalau begitu saya permisi."
Aku rasa cukup untuk hari. Aku lelah. Aku ingin beristirahat.
"Tidurlah," ucapnya seraya membetulkan selimut.
"Dia benar-benar mau menurutimu." Suara Charllene terdengar berbisik. Tak ada jawaban, lalu Charllene kembali berucap, "sepertinya..."
Tak terdengar apa pun. Aku menunggu dan hanya hening yang terdengar. Padahal aku ingin sekali mendengar kelanjutan ucapannya. Aku berusaha membuka mata, tapi kantuk memberati kelopak mata untuk terbuka.
Lama aku menunggu dalam gelap dan keheningan. Sampai benar-benar tidak ada suara apa pun yang terdengar.
***
Suara kikikan membangunkanku dari tidur lelapku. Entah berapa lama aku tertidur. Badanku lemas sekali, sebanyak apa pun aku tidur rasanya rasa lemas tak pernah hilang. Apalagi setelah mengonsumsi obat. Rasanya berkilo-kilo batu tergantung di kelopak mata dan memaksanya untuk terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romance[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...