SUMMER
Aliyyah
Zurich, kota terbesar di swiss yang menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Kota yang terkenal dengan kehidupannya yang mahal. Kota yang indah dengan bangunan yang masih terbilang kuno ala era renaisans abad ke-14. Klasik dengan kesan romantis yang kental.
Mataku tak lelah untuk terus menatap pemandangan yang tersaji di luar sana. Melihat ke kiri kanan jalan yang terstruktur rapi. Ruas jalan luas dengan sedikit kendaraan, membuat aku leluasa untuk mengagumi tiap penjuru kota. Berbeda dengan kota metropolitan di Indonesia yang penuh sesak dengan kendaaan dan polusi.
Apalagi saat melewati Bahnhoftrasse, ruas jalan terbesar di Zurich dengan berbagai toko high end dan cafe berjajar di sepanjang jalan. Berbagai macam fashion store ternama kelas high end menjadi surga tersendiri untuk fashionista. Swiss terkenal dengan jam hasil ciptaan tangan-tangan ahli di negara ini. Maka, tak heran jika banyak toko-toko yang menyediakan jam tangan berbagai merk dengan harga yang fantastis. Harga yang dibandrol di sini cukup mahal memang. Namun, sebanding dengan panorama kota yang begitu memukau.
Pejalan kaki hampir mendominasi ruas jalanan Bahnhoftrasse. Aku tak sabar untuk segera turun dan bergabung bersama pejalan kaki itu. Menyusuri jalanan asri kota Zurich. Duduk di depan cafe di pinggir sungai Limmat dengan secangkir capuchinno menikmati pemandangan kota.
Saking terpesonanya aku dengan pemandangan, hingga tak kusadari tatapan Arnold yang lekat memandangan ke arahku. Bayangannya terlihat dari kaca jendela mobil. Samar, tapi itu cukup membuatku terpaku pada bayangannya.
"Kau suka?" tanyanya saat aku membetulkan posisi duduk tegak menghadap ke depan, tapi dengan mata yang masih menatap ke luar.
"Sangat!" jawabku antusias.
"Jika aku sudah bisa berjalan, aku akan mengajakmu berkeliling."
Aku menoleh secepat kilat demi menatap matanya. "Sungguh?" Rasa antusiasku semakin besar melihatnya mengangguk.
"Janji?" Aku mengangsurkan jari kelingkingku padanya sebagai tanda perjanjian kami. Seperti kebiasaan kami dulu.
"Janji." Dia membalas dengan mengaitkan kelingkingnya.
Aku mendapati Charllene tersenyum sendiri melihat tingkah lakuku. Dia duduk di depan bersama Toby yang menjadi pemandu jalan. Toby akan tinggal bersama kami selama beberapa hari ke depan sampai Arnold benar-benar bisa melakukan segala hal sendiri. Sedangkan Charllene, dia akan kembali ke Indonesia besok. Rafael --anaknya-- sedang sakit dan butuh kehadirannya segera.
Mobil memasuki jalan yang lebih sempit bernama Rosengartenstrasse dan berhenti di sebuah apartemen. Bangunannya tampak sederhana. Berlantai lima dengan cat warna hijau pastel yang lembut. Halaman yang luas tersaji di depan bangunan dengan sebagian besar berupa taman rumput berhias bunga warna-warni dalam pot-pot besar.
Kami semua turun. Toby bergegas mengeluarkan kursi roda dalam bagasi, mengaturnya lalu memindahkan Arnold ke atas kursi roda. Aku mengambil alih posisi Toby untuk mendorong kursi roda bergantian dengan pria itu yang mengangkat beberapa koper ke lobi.
Seorang pria berperawakan tinggi kurus dengan pakaian rapi menghampiri kami. Tepatnya menyapa Charllene yang sepertinya sudah mengenal pria itu. Terlihat dari cara mereka berbicara akrab.
"Ini kakakku, Arnold dan Aliyyah. Dan itu Tobias," ucap Charllene mengenalkan kami satu persatu.
"Halo, saya Greg Anderson. Teman Charllene," sapa pria itu menyalami kami bergantian.
"Dia yang membantuku merenovasi apartemen yang akan kalian tinggal. Sekaligus pemilik tempat ini."
"Semoga Anda menyukainya." Greg berkata sopan dengan senyum yang ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romance[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...