CDPS 23

1.3K 122 7
                                    

SUMMER

Aliyyah

Hah!

Rasanya ini lebih baik ketimbang duduk diam di hadapan dua orang yang saling mengenang masa lalu. Setelah berjalan-jalan mengitari sungai Limmat, menikmati suasana nyaman dan damai di tepiannya. Aku mampir ke supermarket terdekat untuk membeli barang.

Akan terlihat aneh jika aku pulang tanpa menjinjing kantong belanja sementara sebelumnya aku berpamit untuk membeli sesuatu. Kuputuskan membeli beberapa butir apel, susu juga madu untuk dibuat pie sore nanti. Kudapan favorit Arnold dengan ektra kayu manis di atasnya yang disajikan hangat-hangat.

Selama ini, Arnold tidak pernah menolak masakanku. Tidak protes atau mengeluhkan soal rasa. Tak jarang pula, dia sampai menambah porsi. Semua dia telan habis tak bersisa.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat melihatnya mengunyah masakanku dengan lahap. Senang tentu saja, apalagi ketika melihat wajahnya yang cerah. Tersenyum sambil memuji hasil masakanku.

Brukk!

Aku melamun dan tidak sengaja menabrak mobil yang sedang terparkir di depanku. Untung saja mobil itu tidak bergerak. Ya ampun, kemana kosentrasiku hingga tak menyadari ada mobil yang diam di sana.

Sebagian apelku tumpah, menggelinding ke ruas jalan. Aku berjongkok untuk memunguti apel satu per satu. Permukaan apel sudah tidak mulus lagi karena bergesekan dengan aspal. Tak lama aku mendengar suara pintu mobil terbuka.

Itu pasti pemilik mobil yang kutabrak. Sial sekali hari ini!

"Kamu tidak apa-apa?"

Spontan aku mendongak mendengar seseorang berkata dalam bahasa Indonesia. Seorang pria ikut berjongkok membantu memunguti apel yang bercecer. Dia tersenyum geli melihat ekspresi kagetku. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan sesama orang Indonesia di negeri asing ini.

"Mobilku salah apa sampai kamu tabrak begitu?"

Aku tertawa kikuk atas kebodohanku. "Maaf, saya melamun."

Apel terakhir sudah masuk ke dalam kantung belanja. Aku berdiri diikuti oleh pria itu. Pakaiannya rapi, kemeja hitam dengan celana katun juga sepatu berbahan kulit.

"Sekali lagi saya minta maaf sudah menabrak mobil Anda, juga terima kasih sudah membantu mengumpulkan apel."

Dia tertawa lalu berkata, "tidak usah formal begitu. Kita sama-sama orang Indonesia, anggap saja kita teman lama yang baru saja bertemu."

Aku tersenyum lalu mengangguk. Dia benar, bertemu dengan orang setanah air di negeri antah berantah begini seperti bertemu saudara di tengah rimbunan asing yang mengelilingi.

"Galang." Dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Tanganku sulit untuk membalas jabatannya karena sedang memeluk kantung berisi apel. Seperti menyadari kesulitanku, pria itu mengambil alih kantung dan memeluknya dengan sebelah tangan.

Sekali lagi dia mengulurkan tangan sambil menyebut nama. Aku tersenyum kemudian menangkupkan kedua tangan di depan dada, menyebut nama tanpa membalas uluran tangannya.

Untuk sesaat suasana begitu canggung. Pria bernama Galang itu masih berdiri kaku dengan seringai

"Ah, maaf kantung belanjaku."

"Oh!" Lagi-lagi dia tertawa kikuk. "Kamu tinggal di mana?"

"Tidak jauh dari sini. Apartemen Mr. Anderson."

"Oh iya? Aku juga tinggal di sana. Kenapa kita baru bertemu sekarang, ya?"

"Wah, kebetulan sekali."

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang