SUMMER
Aliyyah
Aroma minyak zaitun menguar memenuhi indera penciumanku. Telapak tanganku licin penuh dengan minyak untuk melakukan pijatan ringan di kaki Arnold. Terutama daerah telapak kaki yang banyak terdapat saraf berkumpul di sana. Berharap, melalui pijatan itu bisa menstimulasi otak untuk merangsang kerja saraf kaki.
Kulirik Arnold yang berbaring dengan mata terpejam, seolah meresapi setiap pijatan di daerah kakinya. Terkadang, jari-jari kakinya merespons dengan gerakan spontan. Bahkan, sudah bisa merasakan sakit atau seperti kesemutan.
"Ally?" Tobias memanggil, dia berdiri di ambang pintu kamar Arnold dengan pakaian santai. Jeans dan t-shirt hijau army.
"Ya?"
"Aku akan keluar sebentar, jika kau tidak keberatan," ucap Toby ragu
"Pergilah."
"Benar, tidak apa-apa jika aku pergi?"
"Yes, go ahead. Take your time!"
"Oke, thanks." Toby pun pergi dengan senyum semringah. Entah mau kemana dia malam-malam begini.
"Ally?" Arnold membeo panggilan Toby untukku. "Dia memanggilmu Ally?"
"Iya, lidahnya terlalu sulit mengucap nama Aliyyah. Aku pun tidak suka dengan logatnya. Terdengar aneh, al-lei-yah." Arnold tertawa saat aku memperagakan logat Toby.
Rasanya hari ini dia banyak tertawa. Terlalu banyak malah. Sejak bertemu dengan Dokter Grayson wajahnya terlihat begitu cerah. Seolah dia baru saja menemukan cinta pertamanya yang hilang. Ataukah, memang seperti itu?
Aku ingat betul bagaimana wajahnya saat menatap Dokter Grayson. Matanya bersinar, seolah ada berlian besar yang baru saja diasah terselip di manik matanya. Gestur tubuhnya seakan tak sabar untuk menyambut uluran tangan wanita cantik itu. Jika bisa, mungkin dia akan loncat dan memeluk Dokter itu dengan sangat erat. Sayangnya, gerakannya terbatas oleh kursi roda dan kemampuan kedua kakinya yang terbatas.
Hal yang sama terlihat dari raut wajah Dokter Grayson. Awalnya, wajah cantiknya terlihat terkejut, perlahan berubah cerah dengan senyum dan binar mata yang tak kalah terang dengan sinar matahari. Apalagi saat keduanya saling sapa. Menjabat tangan satu sama lain, erat dan lama. Seandainya tidak ada aku dan Toby mungkin genggaman itu tidak akan lepas.
Bahkan, sampai di ruang terapi pun tatapan itu masih berlanjut dengan diselingin tawa juga obrolan kecil. Entah, apa yang mereka bicarakan. Karena aku berdiri di depan kaca besar tembus pandang ke dalam ruangan. Memperhatikan keduanya dari kejauhan. Tak bisa mendengar percakapan apa pun di antara mereka.
"Aku perhatikan kau diam saja sejak tadi. Ada apa?" tanya Arnold menginterupsi bayanganku tentang Dokter Grayson.
"Tidak apa-apa."
"Tidak seperti biasanya. Hari ini kau tampak murung." Aku mengulas sedikit senyum yang dipaksakan.
Lalu, apa yang harus aku lakukan Arn?
"Anda sendiri terlihat begitu senang sejak bertemu dengan Dokter Grayson. Teman Anda-kah?" Pertanyaan bodoh. Jika mereka hanya teman, reaksi yang diperlihatkan tidak mungkin seperti itu. Tadi itu terlalu berlebihan jika disebut teman. Kecuali, teman dekat. Teramat dekat.
"Hmm, teman. Jika kami bisa disebut teman."
"Maksud Anda?" Aku kurang paham dengan ucapannya.
"Scarlette, dia... kami," ucap Arnold terbata, bingung untuk menjelaskan hubungannya dengan Dokter Grayson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romance[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...