SPRING
Aliyyah
"Ayolah, buka mulut Anda!"
Sudah lebih dari sepuluh menit aku membujuk Arnold untuk makan, tapi dia tetap dengan aksi GTM-nya alias Gerakan Tutup Mulut. Aku sudah mencoba berbagai cara agar dia mau membuka mulut. Dari mulai menunggu acara yang ditontonnya habis sampai mengeluarkan bujuk rayu khas anak kecil. Dan, semuanya tanpa hasil.
Entah apa salahku hingga dia menolak makan dan mendiamkanku. Mengacuhkan keberadaanku yang seolah tidak ada bersamanya. Padahal, baru saja aku mengira dia mulai merasa nyaman di dekatku. Meskipun dia tidak ingat siapa aku, setidaknya dengan dia merasa nyaman saja itu sudah suatu kebahagiaan bagiku.
Tapi, apa yang terjadi kini? Dia kembali mengabaikanku. Entah dengan alasan apa.
Jangan-jangan, karena aku meninggalkannya saat sesi latihan tadi? Dia marah karena aku tidak menungguinya hingga selesai.
"Apa Anda marah?" tanyaku dan dia hanya diam. "Anda marah karena saya tidak menunggui Anda?"
Dia mencebik dengan memutar bola matanya. Bersedikap bersikap sedingin mungkin. Pura-pura tak mendengar ucapanku.
"Maafkan saya. Saya ada urusan tadi. Besok saya janji akan menemani Anda sampai selesai." Lagi-lagi dia mencebik kesal.
Astaghfirullah, bujukan seperti apa yang harus aku lakukan agar dia mau membuka mulut? Asalkan, dia mau makan beberapa suap saja tidak mengapa.
"Baiklah, kalau Anda tidak mau saya suapi tidak apa-apa," ucapku sambil menaruh kembali piring berisi risotto safron ke meja. "Mungkin Anda ingin Tobias yang melakukannya?" Dia masih diam.
Aku menghela napas. Diam sejenak memandanginya yang mengacuhkanku.
"Sepertinya Anda masih marah. Kalau begitu, lebih baik saya pergi saja."
Aku tidak mau berlama-lama bersamanya dengan suasana hati yang kurang mendukung. Aku takut tidak bisa mengontrol diri dan lepas kendali memarahinya seperti anak kecil yang mogok makan.
Aku bangkit dari kursi, bersiap untuk melangkah pergi dari hadapan Arnold tepat saat tangannya menahan lenganku.
"Stay!" Aku menoleh menatapnya bergantian dengan genggaman tangannya. "Stay with me, please!"
Ah, aku meleleh dalam sekejap. Tak tahan rasanya untuk menolak permintaannya, apalagi dengan tatapan memelas penuh penyesalan yang dia tujukan padaku. Ingin aku cubit pipinya dengan gemas.
"Oke, saya tetap tinggal, tapi Anda harus menghabiskan makanan ini. Semua... tanpa sisa!"
Dia terlihat menelan ludah, melirik pada nampan berisi seporsi risotto, air mineral dan pisang. Tidak ada yang aneh, hanya saja ada campuran cumi panggang dalam risotto yang tidak disukainya. Dia benci tekstur kenyal cumi yang menurutnya agak aneh di lidah. Menghabiskan seporsi risotto ini pasti menjadi tantangan berat baginya.
"Bagaimana?"
"Oke," ucapnya lemah dengan wajah enggan. Lucu, aku semakin gemas ingin mencubit pipinya.
Aku kembali duduk di kursi samping ranjang, mengambil piring risotto dan bersiap melayangkan sendok yang terisi penuh dengan potongan cumi padanya.
"Aaa..." Aku mengisyaratkan Arnold untuk membuka mulut. Dengan mata terpejam sambil menahan napas, dia membuka mulut. "Yang lebar!" Dia mengikutiku membuka mulut lebih lebar dan memudahkan sendok mengantarkan makanan ke mulutnya.
Aku mengulum senyum melihat ekspresinya, mengunyah dengan teramat pelan seakan menahan diri untuk tidak memuntahkan kembali makanan di dalam mulutnya. Lalu menelan dengan susah payah, membuat wajahnya sedikit memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)
Romance[Update setiap hari] [Sedang masa revisi] "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu mengenalku?" "Seperti yang dikatakan Nyonya Carol, saya hanya asisten perawat di sini," ucapku sambil lalu meninggalkan meja makan. Ya, aku hanya seorang asisten r...