CDPS 22

1.3K 106 4
                                    

SUMMER

Arnold

"Dulu, saat kita pertama kali bertemu. Saat aku masih menjadi asistenmu di kantor. Aku memang tak pernah mau menatapmu."

Aku masih bingung dengan kalimatnya. Apalagi melihat ekspresi wajahnya yang seolah penuh harap. Matanya berkaca-kaca, air mata menggantung di sudut mata siap terjatuh.

Kenapa dia?

"Bisa kau jelaskan maksud ucapanmu?" Aku ingin mendengar ceritanya lebih lanjut. Mungkin dengan begitu, sedikit demi sedikit ingatanku akan kembali.

Namun, apa untungnya jika ingatanku kembali? Toh, semuanya akan tetap sama saja, bukan? Ingat atau tidak dengan masa lalu yang tertinggal, aku tetap aku. Seorang Arnold Vincentino.

Dia terlihat menarik napas dalam, lalu tertunduk fokus pada jari-jari kakiku. Dengan hati-hati dia memperlakukan kakiku layaknya gelas kristal yang mudah remuk. Memotong kuku secara perlahan, takut kalau gerakannya menyakitiku.

"Aku memiliki pengalaman buruk dengan pria. Ada ketakutan tersendiri untuk berdekatan dengan lelaki yang baru aku kenal. Berbicara saja rasanya sudah cukup membuatku bergetar, apalagi dengan menatap mata."

Suaranya terdengar tenang. Sampai membuatku harus menajamkan telinga agar tahu maksud perkataannya. Sambil mengingat-ingat setiap ucapannya dan menggali dalam memoriku.

"Kau orang yang paling ditakuti di kantor. Seluruh karyawan bahkan partner bisnismu segan jika berhadapan denganmu. Kau itu bukan hanya seperti singa di tengah belantara hutan kertas, tapi raja yang harus dipatuhi titahnya."

"Oh iya?" Dia mengangguk. "Apa kau juga takut padaku?"

"Tentu. Orang yang tidak memiliki trauma saja takut padaku, apalagi aku." Dia tertawa kecil, sepertinya ingatannya sedang terbang melayang ke beberapa waktu silam. "Tapi, setelah mengenalmu, perlahan ketakutan itu mulai sirna."

"Kau mengenalku?" Lagi-lagi dia mengangguk. "Seberapa banyak kau mengenalku?" Aku semakin penasaran dengan penjelasannya.

"Sangat banyak. Sebanyak aku mengenal diriku sendiri." Ada getar tersembunyi di balik suara lirihnya.

Jujur, aku merasa bodoh saat ini.

"Apa kita pernah memiliki hubungan?" Dia tersentak dengan pertanyaanku.

Mendongak, menatapku dengan matanya yang bersinar sendu. Ada apa dengan matanya? Kenapa binar itu selalu menghiasi tatapannya? Membuatku terperosok dalam jurang ketidaktahuan. Membuatku merasa bodoh dalam lembah memori hitam tak berujung.

"Apa itu benar?" tuntutku sekali lagi demi mendapatkan jawaban darinya.

"Aku... aku," ucapnya terbata, seolah sedang menyusun kalimat di dalam kepalanya. "Aku hanya asisten biasa yang kebetulan berkesempatan untuk mengenalmu," lanjutnya dengan raut wajah kesakitan.

Seakan mengatakan bahwa, ada luka tak tampak yang terpancar di manik matanya. Ada darah yang menggenang di sudut hatinya. Ada sebilah pisau yang tertancap di jantungnya.

Kesakitannya seolah merasuk dalam jiwaku. Sakit yang tak bisa aku jelaskan dari mana asalnya. Sakit yang tak bisa aku gambarkan bagaimana rasanya.

***

Aliyyah

Hampir.

Hampir saja aku mengatakan padanya siapa aku. Ini kesempatan besar bagiku, jika saja aku tidak ingat perkataan Carol waktu itu. Mungkin aku akan mengatakan dengan lantang padanya siapa aku, siapa dia dan siapa kami.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang