CDPS 3

1.8K 155 7
                                    

SPRING

"Morning," ucapku sambil membuka pintu kamar.

Senyum terbaik yang kusiapkan rasanya percuma ketika dia tak melirik sama sekali. Kegiatannya masih sama seperti kemarin, sibuk dengan remote televisi. Sepertinya memencet tombol remote bisa menjadi alternatif olahraga baru --olahraga jari.

Aku melepas jaket dan syal. Menyimpannya di atas sofa setelah sebelumnya aku lipat terlebih dahulu. Meski sedang musim semi, tapi udara pagi masih terlalu dingin untuk melakukan aktifitas tanpa pakaian hangat. Dengan suhu 19 derajat, siapapun akan mudah terserang flu. Apalagi aku yang masih harus beradaptasi dengan lingkungan.

Di meja samping ranjang terdapat nampan berisi sarapannya pagi ini. Menurut informasi dari Toby, dia tidak mau makan. Toby sudah berusaha menawarinya berbagai menu dan hanya dibalas oleh gelengan malas. Kusentuh mangkuk berisi sup krim ayam, masih hangat, itu artinya sup ini belum lama.

Kebiasaan Arnold yang pertama soal makanan. Dia tidak suka makanan yang sudah dingin atau makanan yang ditiup dalam keadaan panas.

Sepertinya aku datang di saat yang tepat. Aku berusaha mendekat, meraih mangkuk dan duduk di kursi samping ranjang.

"Supnya sudah hangat." Aku mengangsurkan sendok berisi sup ke hadapannya.

Dia diam, seolah menganggapku tidak ada.

"Kalau didiamkan lebih lama lagi, sup ini akan dingin." Aku tetap berusaha mendekatkan sendok ke mulutnya.

Dia masih diam.

"Ayo, berdoa dulu, ya." Aku menuntunnya berdoa.

Aku yakin telinganya mendengar walaupun perhatiannya tetap tertuju pada benda persegi panjang yang tergantung di dinding. Selesai berdoa, kuulangi sekali lagi gerakanku mengangsurkan sendok.

"Aaa," ucapku seraya membuka mulut, berharap dia akan latah mengikuti gerakanku.

Setelah usaha yang kesekian akhirnya dia mau membuka mulut meski hanya berupa celah kecil. Tak apa, yang penting bisa menjadi jalan masuk makanan. Tiap suapan aku harus mengulang gerakan yang sama. Membuka mulut dan bersuara 'aaa...' berulang kali. Ini lebih sulit dibanding membujuk Manda makan ketika sedang sakit.

Dia berhenti disuapan ke enam. Menutup mulut rapat-rapat sambil menolehkan sedikit kepalanya ke kiri, mengisyaratkan bahwa dia sudah tak mau lagi. Aku tak memaksanya. Kubiarkan saja dia, yang penting ada makanan yang masuk ke perut. Dengan hati-hati kuusap pinggir bibirnya, membersihkannya dari sisa sup krim yang menempel. Lalu menyodorkannya gelas berisi air putih yang diberi sedotan.

Selesai, saatnya minum obat. Untuk yang satu itu aku perlu bantuan Toby. Obatnya terlalu banyak dan aku belum hafal obat mana saja yang harus kuberikan padanya.

"Dia mau makan?" tanya Toby saat melihat mangkuk yang berkurang setengahnya dan tersenyum ketika aku mengiyakan. "Good job. Dia sulit sekali makan," lanjutnya setengah berbisik sambil menyiapkan obat.

Tantangan lain lagi ada pada pemberian obat. Dia harus menelan beberapa pil dengan berbagai ukuran juga warna. Entah, apa fungsi masing-masing dari obat-obat itu. Sepuluh menit berlalu sejak Toby membujuk Arnold untuk membuka mulut. Tak ada reaksi malah semakin menghindar ketika pria berkulit gelap itu menyodorkan pil dan gelas.

Makan sup yang tinggal ditelan pun sulit, apalagi menyuruhnya menelan pil.

Toby menoleh ke arahku sambil menggeleng. Kedua alisnya terangkat ke atas pertanda menyerah. Disimpannya kembali pil-pil tersebut di meja, menghampiriku kemudian berkata, "ini lebih sulit dari biasanya."

"Biar aku coba," ucapku menggantikan posisinya.

Aku berdiri di dekat ranjang, duduk perlahan di sisinya. Memperhatikan wajah datarnya yang fokus menonton acara National Geographic. Apa dia sedang tidak ingin diganggu karena tidak mau terlewat sedetik pun acara itu?

Saluran tersebut sedang menayangkan keindahan alam laut yang eksotis dengan berbagai penghuninya. Ribuan jenis ikan juga terumbu karang. Matanya sibuk mengikuti gerakan ikan berenang di layar. Dia seperti tenggelam dalam laut imajinasi ciptaannya.

Lagi-lagi aku membiarkannya menikmati waktu menyaksikan pesona laut lewat layar di hadapannya. Tak mau mengganggu, aku membalikkan badan dan ikut menonton bersamanya dalam keheningan.

Lima belas menit kemudian acara selesai. Sorot matanya kembali tanpa minat. Dia mulai menggerakkan jari memencet tombol remote mencari apa pun yang disukainya.

"Acaranya sudah selesai. Jadi, Anda bisa meminum obatnya sekarang." Aku meraih pil-pil yang sudah disiapkan oleh Toby. "Aaa..."

Dia mengikutiku membuka mulut tanpa perlawanan. Aku menyuapkan satu persatu pil bergantian dengan air putih, berhenti sejenak lalu meminumkan obat lain hingga habis.

"Good boy." Aku tersenyum ketika dia melirik tak suka padaku.

Aku berpikir, jika hanya ini saja sih tak masalah buatku. Merawatnya selayaknya anak kecil yang manja akan lebih memudahkan.

***

"Kau berhasil menyuruhnya makan dan minum obat," ucap Toby antusias. "Aku perlu waktu lebih lama lagi untuk membujuknya," lanjutnya seraya menyuapkan tumisan ayam yang dicampur kacang polong.

"Aku hanya mengikuti kemauannya. Dengan begitu dia pun akan mengikuti kemauanku."

Kami sedang berada di kafetaria rumah sakit. Toby mengajakku makan siang bersama setelah memastikan kondisi Arnold. Dia sedang tidur, obat-obatan yang dikonsumsinya memaksa tubuhnya untuk terus beristirahat.

"Sepertinya kau sudah biasa menghadapi pasiennya. Sudah berapa lama kau bekerja sebagai perawat?"

Aku tertawa mendengar ucapannya dan Toby menatapku heran. Wajahnya seperti berkata, "apa yang salah?"

"Aku bukan seorang perawat seperti yang kau kira. Aku hanya... seorang asisten rumah tangga." Tawaku berangsur hilang. Jawabanku menyadarkan diriku sendiri posisi apa yang aku perankan sekarang.

Bukan seorang istri yang menemani suaminya menjalankan perawatan. Melainkan seorang asisten rumah tangga yang merawat Tuannya.

"Kau tidak makan?" tanya Toby yang melihatku hanya memesan jus wortel.

"Tidak lapar."

Dia mengangguk lalu melanjutkan makan. Menyuapkan sendok demi sendok berisi nasi dan ayam dengan lahap. Dalam sekejap saja piringnya sudah bersih. Pun dengan botol air mineral di sampingnya. Kelihatannya dia memang benar-benar lapar.

"Satu lagi yang kuharap bisa kau lakukan," ucap Toby dengan wajah berharap.

"Apa?" tanyaku sambil berusaha mensejajarkan langkah lebar Toby menuju pos-nya.

Berjalan dengan seseorang yang bertubuh lebih besar dan mempunyai kaki panjang sungguh menyusahkan. Belum lagi, aku harus mendongak tinggi untuk bisa bersitatap dengan Toby. Mungkin sudah nasib wanita sepertiku. Memiliki tubuh mungil di tengah kerumunan raksas bule. Seperti kurcaci yang tersesat di tengah sarang Ogre.

"Membujuknya agar mau melakukan terapi," ujarnya penuh harap.

"Aku akan berusaha."

"Aku yakin kau bisa melakukannya."

"Aku harap begitu. Kau saja yang sudah profesional tak bisa membujuknya, apalagi aku?"

"Oh, come on." Wajahnya memelas dengan kedua alis yang melengkung turun. Alis tebalnya mirip seperti Shin-Chan ketika merajuk. Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Aku membekap mulut, menahan tawa agar tak meledak.

Dia ikut tersenyum melihatku tertawa, menampakan deretan gigi putih dengan celah tipis di antara gigi kelincinya. Entah kenapa, raut wajahnya tak bisa membuatku menghilangkan tawa. Yah, setidaknya aku sedikit terhibur dengan keberadaannya.

Aku mengenalnya kurang dari 48 jam, tapi dengan segala keramahannya, dia bisa membuatku nyaman berada di tempat asing seperti ini. Toby, teman pertamaku di sini.

***

Seperti biasa, komentar kalian tentang tulisanku sangat aku tunggu.

terima kasih udah mampir dan baca. 

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang