CDPS 25

1.5K 125 5
                                    

SUMMER

Arnold

Aku membelalakan mata dengan susah payah. Napasku memburu seolah tengah berlari sprint di gurun pasir. Keringat bercucuran membasahi dahi juga pakaianku. Padahal AC menyala, tapi keringat tetap saja berhasil merembes dari celah pori.

Kulirik jam di meja nakas, pukul tiga dini hari. Selalu saja, setiap malam dengan mimpi yang sama dan terbangun di jam yang sama pula. Biasanya akan ada Aliyyah yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Mengusap dahi dan menggantikan pakaian yang basah. Kemudian menemaniku tidur sambil berdendang. Perlakuannya persis seorang ibu yang sedang meninabobokan bayikan. Begitu lembut penuh kasih sayang.

Aku yakin, dia akan menjadi seorang ibu yang baik dan lemah lembut ketika memiliki seorang anak nanti. Dia pandai di segala bidang. Bahkan, aku ketagihan dengan masakannya. Mungkin, jika dia kembali ke Indonesia, aku akan memberinya modal usaha untuk membuka warung makan. Aku yakin, pelanggannya pasti banyak. Aku salah satunya.

Namun, jika dipikir lagi.

Entah kenapa. Aku merasa tidak rela jika dia harus kembali ke Indonesia. Waktu enam bulan untuk merawatku terlalu singkat. Tapi, aku juga tak bisa menahannya untuk tetap tinggal. Sementara aku sudah pulih. Mungkin ini berlebihan, tapi berkat wanita itu aku bisa melewati masa terpurukku dan bangkit kembali.

Dengan kesabaran, kelembutan dan keramahan dia mendampingiku. Telaten merawatku yang tak berdaya. Kalau saja dia tidak ada, entah akan jadi seperti apa diriku. Seorang diri dalam ketidakberdayaan.

Bicara soal Aliyyah, kemana wanita itu? Biasanya, dijam segini dia akan menengok keadaanku. Terbawa oleh rasa penasaran, aku bangkit menuju kamarnya dengan terlebih dahulu mengganti pakaianku.

Berjalan dengan dua kruk seperti ini sungguh membuatku terganggu. Apalagi bagian bahu sebagai penyangga berat tubuhku kadang terasa pegal jika berlama-lama berjalan.

Aku berdiri di ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tapi, cukup jelas bagiku untuk mengawasi sang pemilik di dalamnya. Dia sedang bersimpuh dalam balutan mukena putih di atas sajadahnya dengan tangan menengadah dan kepala yang tertunduk dalam.

Samar, aku mendengar isakan tangis. Kuperhatikan dia lebih jelas lagi. Gerakan tangannya kini menutupi wajahnya. Bahunya bergetar hebat dengan isakan tertahan yang coba diredamnya.

Entah dengan alasan apa, rasanya aku ingin sekali menghampirinya. Mendekap tubuh mungilnya demi menghentikan tangisnya. Dadaku seakan teriris melihat air matanya turun. Padahal belum genap lima bulan kami bersama, tapi aku merasa begitu mengenalnya.

Tangisnya berhenti. Dia mengusap pipinya dengan ujung mukena. Aku teringat luka di pipinya akibat ulah mommy. Apa sakit hatinya belum hilang? Sesakit itukah, hingga dalam keheningan seperti ini tangisnya masih saja luruh? Sunyi dalam temaram yang damai belum bisa menenangkan hatinya.

Dan, gerakan selanjutnya membuatku berhasil menahan napas dalam beberapa detik. Dia melepas mukena yang membalut tubuhnya. Memperlihatkan mahkota yang selama ini tersembunyi di balik jilbab. Rambut hitamnya terurai indah menutupi punggung. Yang lebih membuatku tak bisa berkedip ialah dia hanya memakai piyama merah maroon berlengan pendek. Kulit putih lengannya terlihat begitu kontras dengan pakaiannya.

Sedetik kemudian, aku memejamkan mata. Menarik napas sedalam mungkin dan membuangnya perlahan sambil melangkah menjauh dari kamarnya tanpa menoleh.

Bodoh! Bagaimana jika Aliyyah mengetahui tindakanku? Bisa malu aku. Mau ditaruh di mana wajahku?

Aku duduk di sisi ranjang, tapi tak lama aku segera bangkit menuju toilet untuk mengambil air wudhu. Membasahi wajahku dengan dinginnya air, duduk di kursi roda kemudian mengucap takbir yang berkumandang di tengah sunyinya waktu di sepertiga malam.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang