CDPS 17

1.2K 104 6
                                    

SUMMER

Aliyyah

Dear future husband,

Here's a few things

You'll need to know if you wanna be

My one and only all my life

Dear future husband,

If you wanna get that special lovin'

Tell me I'm beautiful each and every night

Lagu dear future husband milik Meghan Trainor mengudara memenuhi seisi dapur. Charllene benar-benar membuat tempat ini mirip seperti di rumah. Audio set bertengger cantik di sisi kitchen set yang memudahkanku menyetel lagu. Satu kebiasaanku yang tak bisa lepas yaitu musik.

Musik selalu menjadi teman setia di manapun dan kapanpun. Hari ini pertama kalinya, aku mendengarkan kembali alunan musik yang keluar melalui mp3 player. Setelah beberapa bulan terakhir pikiranku dipenuhi oleh Arnold. Untuk beristirahat pun rasanya tidak ada waktu, apalagi hanya untuk sekadar mendengarkan musik dan bersantai ria.

Mengikuti alunan nadanya sanggup memberiku ruang untuk melepas penat dan memperbaiki mood yang kacau akhir-akhir ini. Bersenandung dengan tangan tak berhenti mengolah makanan untuk sarapan pagi ini.

Aku membuka panci berisi bubur putih. Uap yang keluar membawa aroma rempah terbang memenuhi dapur. Mengocek sebentar untuk memastikan bubur sudah matang atau belum. Menambahkan sedikit garam lalu mematikan kompor dan menyajikannya ke dalam tiga buah mangkok.

Beralih pada potongan dada ayam yang telah hilang asapnya. Menyuir kecil-kecil dan menaburkannya di atas bubur. Potongan peterseli menjadi pelengkap bubur ayam ala Aliyyah.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kubuka laci kitchen set, mengambil toples kaca berisi bawang goreng. Aku tersenyum melihat stiker yang tertempel di sana bertuliskan 'buatan nenek'. Itu pasti tulisan Rama.

Aku membuka tutup toples, mencium aroma menggiurkan bawang goreng buatan ibu yang tidak ada duanya. Warna cokelat keemasan yang sempurna dan renyah. Air liurku menetes membayangkan nikmatnya menyantap bubur ayam ditambah bawang goreng spesial ini. Hanya satu yang kurang. Kerupuk.

Tiga mangkuk bubur siap di santap. Aku tersenyum puas dengan hasil karyaku. Kepulan asap bubur terbang melambung tinggi, membawa serta setiap doa yang terselip di antaranya. Dengan harapan, lidah Arnold akan mengingat rasa yang tercecap di sana.

Aku melirik jam dinding yang menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Satu jam lagi, jadwal penerbangan Charllene. Pagi sekali dia sudah pergi ke bandara mengejar penerbangan pagi. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Rafael. Dia juga menolak tawaranku untuk mengantarnya dan berdalih bahwa takut Arnold mencariku. Benar saja apa yang dikatakannya, orang pertama yang Arnold cari setelah membuka mata adalah aku. Entah dengan alasan apa, tapi dia terlihat begitu lega setelah aku menghampirinya.

Aku menuju balkon, mengedarkan pandanganku ke taman rumput. Di sana, Arnold sedang berjemur menikmati sinar mentari bersama Toby. Warna kulitnya berangsur berubah segar, tidak seperti saat pertama kali aku melihatnya. Putih pucat seakan tak ada aliran darah di sana.

Entah, karena sadar aku memperhatikannya atau memang tidak sengaja. Dia mendongak, menatap tepat ke arahku yang bersandar pada dinding balkon. Senyumku langsung mengembang saat dia melambaikan tangan.

"Sarapan sudah siap. Kemarilah!" Aku berbicara dengan suara sedikit kencang sambil mengayunkan tangan menyuruhnya naik dan sarapan.

Dia mengangguk, lalu memanggil Toby berbicara sebentar dan Toby pun mendorong kursi roda Arnold menuju lobi. Tak lama lagi, dia akan sampai di sini. Sekali lagi kutatap makanan di meja. Harapanku tumpah ruah dalam semangkuk bubur ayam.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang