CDPS 5

1.2K 135 2
                                    

SPRING

Arnold

"I love you, deeply."

Suara itu lagi. Beberapa hari ini, suara itu selalu terngiang di telingaku. Mengantarku tidur juga membangunkanku saat pagi menjelang.

Pagi ini masih tetap sama. Aku terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhku. Berbaring dengan posisi yang sama selama berhari-hari begitu menyiksa. Bayangkan jika harus tidur telentang setengah duduk dengan sebelah kaki memakai gips yang disangga ke atas. Membungkus erat kaki kanan hingga setengah paha dan menyisakan ujung jari. Belum lagi kaki satunya yang tidak bisa digerakan. Ada, tapi tidak terasa.

Untung kedua tanganku masih berfungsi walaupun dengan gerakan terbatas. Juga otak yang masih bisa berpikir, menangkap kata demi kata dan mengolahnya menjadi informasi. Minus, kemampuanku mengingat peristiwa beberapa tahun ke belakang.

Serangkaian operasi yang dilakukan di daerah kepala memberikan efek kehilangan sebagian ingatan dan hal itu bisa berlangsung secara permanen. Artinya, aku akan menghabiskan sisa hidup tanpa ingatan masa lalu.

Hah! Yang benar saja. Siapa orangnya yang bisa bertahan hidup tanpa tekanan karena tak bisa mengenali orang-orang di masa lalu? Meskipun aku tak yakin hidup seperti apa yang kujalani. Semenarik apa hidup yang telah kulewati. Hal hebat apa yang sudah aku capai selama hidupku. Membayangkan hidup tanpa masa lalu benar-benar membuatku stres.

Mataku tertuju pada sesosok yang meringkuk di sofa. Wanita yang mommy panggil untuk merawatku. Aku akui, dia memang lihai membujukku. Aku tak keberatan dia suapi atau ketika minum obat, dia akan sabar menungguku. Meski sering kali aku berulah dengan tidak mengindahkan ucapannya. Tapi, dia tetap sabar.

Berapa banyak yang mommy beri padanya untuk merawatku?

***

Makan menu yang sama sebagai sarapan setiap pagi hampir membuat perutku mual. Sup krim yang disajikan dengan french toast tanpa rasa ditambah sekotak susu juga pisang. Kalau bukan karena wanita di hadapanku ini yang telah sabar menunggu, mungkin aku sudah melempar nampan itu atau membuangnya ke tempat sampah --jika aku bisa.

Sayangnya, aku harus menelan cairan kental hambar itu demi membuatnya berhenti menatapku dengan iba. Entahlah, aku tak yakin tatapan itu sebagai refleksi rasa iba melihatku tak berdaya atau ada arti lain di dalamnya. Yang pasti, aku tak ingin ditatap demikian olehnya.

"Selesai," ucapnya saat aku berhasil menelan suapan terakhir sup krim. Dia meraih beberapa butir pil dan menyodorkannya padaku.
Aku benci obat. Lagi-lagi aku harus menelan pil pahit itu dengan susah payah.

"Good man!" ucapnya dengan senyum mengembang. "Perlu saya panggilkan Tobias?"
Aku menggeleng, "pulanglah dan beristirahat."

Sudah tiga hari dia selalu ada di sini menemaniku. Pulang sebentar saat Tobias menggatikan tugasnya merawatku. Lalu kembali ke sini dengan wajah yang tidak berubah. Terlihat lelah meski berusaha disembunyikan di balik senyumnya.

"Tidak bisa, kalau saya pulang siapa yang akan menjaga Anda?"

"Ada Tobias."

"Dia memang perawat di sini, tapi dia tidak hanya merawat Anda seorang. Ada pasien lain yang harus dirawatnya juga," bantahnya dengan tangan tak hentinya membereskan meja dari nampan dan botol obat.

Ya sudahlah kalau dia tidak mau pulang. Toh, tugasnya memang merawatku. Aku kembali memfokuskan diri pada layar datar di hadapanku. Mencari saluran yang menarik.

Berulang kali kupencet remote yang ada hanya saluran acara situasi komedi, film layar lebar, berita, dan olahraga. Tidak ada yang menarik. Aku tidak terlalu suka menonton televisi. Tidak tahu banyak soal film. Tidak pernah up to date tentang musik terkini.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang