CDPS 1

2.2K 125 1
                                    

SPRING

Lausanne, Swiss. Kota yang berada di tepi danau Geneva. Salah satu kota tertenang dan tanpa polusi yang pernah ada di dunia. Bangunan khas abad 16 masih mendominasi, menambah indah suasana kharismatik kota.

Kota ini tidak ramai oleh kendaraan seperti layaknya kota-kota di negara maju. Rumah penduduk tersebar di sekitar bukit. Jika malam tiba, lampu-lampu dari rumah penduduk itu akan berpendar temaram dari kejauhan. Tak sabar rasanya untuk segera menikmati keindahan malam di kota asri ini.

Udara sejuk yang cenderung dingin menyambut. Menerpa wajah lelahku yang hampir tidak tidur selama kurang lebih enam belas jam perjalanan. Tubuhku rasanya kaku, kaki agak kesemutan karena terlalu lama menggantung. Jangan ditanya lagi, apa warna mataku sekarang. Manik hitamku sudah tenggelam di antara merahnya bola mata dengan urat halus yang tak kalah merah.

Selama perjalanan mataku begitu dimanjakan oleh pemandangan indah yang terlihat dari balik kaca jendela kereta. Melewati lereng gunung dengan sisa salju putih yang belum mencair sepenuhnya. Naik turun mengikuti kontur lereng gunung. Membelah lembah, melewati bukit.

Pemandangan yang begitu menakjubkan. Tapi, tak bisa kunikmati. Mataku memang sibuk mengamati ciptaan-Nya yang tersaji indah di depan mata, namun tidak dengan hati dan otakku yang terus memikirkannya.

Menyusuri jalanan yang bersih dengan udara yang tak kalah bersih sanggup memberikan efek tenang dan damai. Lagi-lagi kedamaian itu tak bisa kurasakan meresap ke dasar hatiku. Dia, begitu mencuri pikiranku. Memenjarakan hatiku hanya untuknya.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari enam belas jam di udara ditambah sekitar tiga jam di darat menggunakan kereta, akhirnya aku sampai.

Hotel des patients. Sebuah hotel yang akan kutinggali selama berada di Lausanne. Jaraknya hanya lima menit berjalan kaki dari tempat dia menjalani perawatan. Bahkan, dari tempatku berdiri saat ini gedung dimana dia berada terlihat jelas. Meski yang terlihat hanya beberapa lantai teratas. Aku ingin segera ada di sana. Bertemu dengannya dan membagi rinduku.

Tangan ramping seorang wanita membuyarkanku dari lamunan sesaat. Senyum hangatnya mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Wanita itu juga sama sepertiku, tidak bisa beristirahat dalam perjalanan. Sesekali, aku menangkap tatapannya yang memperhatikanku.

"Untuk sementara kita tinggal di sini," ucapnya sembari meletakkan koper di dekat sofa.

Dia merebahkan tubuh di atas sofa dengan menyelonjorkan kaki. Matanya terpejam, merasakan lelah yang amat sangat. Aku perhatikan ujung kakinya sedikit lecet. Berjam-jam memakai heels setinggi tujuh senti membuatnya tersiksa.

Aku mengikutinya, duduk bersandar pada sofa yang berseberangan. Membuka slip on dan kaus kaki. Memijat pelan betis berharap pijatan bisa membuat otot kakiku melemas.

"Istirahatlah dulu, Kak. Kau harus menjaga kesehatanmu." Di tengah keletihannya, dia masih saja mencemaskanku.

"Aku tidak apa-apa. Kau juga istirahatlah," jawabku sambil berlalu menuju toilet.

Aku berdiri di depan wastapel. Menatap wajahku sendiri yang terpantul di sana. Entah, hari seperti apa yang akan kulewati di sini. Entah, harus dengan hati seperti apa aku bisa bertahan di sini.

"Aku kuat. Aku harus kuat," bisikku pada bayangan wajah lelah di depan sana.

***

"Sebelum bertemu dengan Kak Arnold, ada baiknya kita bertemu dengan Dokter yang menanganinya terlebih dahulu," ucap Charllene yang berjalan cepat di depanku.

Aku tak bisa menjawab, hanya mengikuti langkah kakinya yang gesit. Bunyi tok-tak-tok-tak heels yang beradu dengan lantai menjadi musik pengiring perjalanan kami. Dadaku berdebar. Berkali-kali mencoba menenangkan diri dengan menarik embuskan napas. Namun, percuma. Hatiku tetap tak tenang mengingat segala kemungkinan yang akan dipaparkan oleh Dokter.

Cinta di Penghujung Senja (Istri yang Terlupakan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang