Why You - 32

8.6K 435 27
                                    


Awas typo!!!

Tidak ada yang bisa menyangka, begitu juga Haruna, kalau hujan berangin malam ini sangat lama. Bahkan dirinya bersama Davian harus menunggu hampir kurang lebih lima jam.

Berita dari televisi di restoran menayangkan beberapa kota yang terkena badai. Pantas saja angin malam ini begitu kencang dan terasa berbeda, namun Haruna bersyukur di sini tidak terkena badai. Haruna merasa lega karena saat ia menghubungi ibu panti, di sana masih aman, hanya hujan dan angin saja.

Banyak orang yang ikut berteduh dan menghangatkan diri di restoran, begitu juga dengan beberapa tempat istirahat di sekitarnya. Orang-orang memilih lebih baik menunda perjalanan daripada melanjutkan perjalanan yang bisa di bilang cukup berbahaya.

"Sepertinya hanya tinggal gerimis saja," ucap Davian.

Haruna enggan menoleh, hanya berguman kecil menanggapi perkataan Davian. Ia masih merasa sangat malu kerena ciuman mereka barusan. Tidak, lebih tepatnya Davian yang menciumnya.

Ia bahkan mendengar beberapa orang yang duduk di dekat meja mereka berbicara walaupun pelan.

"Bukankah itu penerus Jade Company? Siapa sih wanita di sampingnya? Mereka tampak serasi, hanya saja bekas luka wanita itu sangat mengganggu."

"Kenapa Davian Jade bisa duduk bersama perempuan buruk rupa itu? Oh, god, bahkan mereka berciuman. Apa Davian tidak jijik?"

"Seperti tidak ada wanita lain saja. Kenapa harus perempuan seperti dia?"

Haruna tahu jika Davian siap memaki orang-orang yang menghinanya, tapi ia lebih dulu memberi Davian ancaman jika sampai terjadi keributan di restoran.

"Iya, aku rasa juga begitu." kata Haruna.

"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan. Lama-lama di sini membuatku ingin memukul seseorang," ucap Davian. Ia memanggil pelayan dan membayar minuman mereka.

Haruna mengangguk. Ia mengikuti Davian. Ia tersentak saat tangan Davian meraih tangannya. Lalu keduanya berjalan menerobos gerimis untuk menuju mobil.

"Kenapa kau menjadi emosi seperti itu?" tanya Haruna setelah mereka duduk di kursi mobil.

"Mereka mengataimu!" ucap Davian tidak terima.

"Lalu apa masalahnya? Ini fakta. Wajar mereka berkata seperti itu," Haruna berkata.

"Aku yang tidak terima," sanggah Davian, sambil melajukan mobilnya menuju panti.

"Davian, kau tidak perlu peduli padaku. Anggap saja aku tidak ada seperti dulu dan resiko bagimu mendengar ejekan orang tentang aku. Seharusnya kau tidak boleh berada di dekatku, mengerti?"

Davian terdiam sejenak. Haruna tahu jika pria itu sedang mempertimbangkan perkataannya. Ia berharap Davian kembali pada sifatnya yang dulu. Karena lebih mudah menghadapi Davian yang mengabaikan dirinya.

"Mulai saat ini kau akan selalu bersamaku!" ucap Davian tegas.

"Kau gila," hujat Haruna. "Kembali seperti dulu dan ingat tentang perjanjian kita!"

"Persetan dengan perjanjian itu!"

"Davian, ada apa denganmu? Kau bukan seperti dirimu sendiri?"

"Pertanyaan yang aneh. Kau bisa melihat sendiri jika aku adalah Davian yang kau kenal," bantah Davian.

"Tidak. Kau seperti orang lain!"

Seperti orang lain?

Davian bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan. Hanya saja berada di dekat Haruna membuat ia merasa nyaman. Memeluk Haruna yang tubuhnya terasa pas dalam dekapannya merupakan candu baginya dan wangi tubuh Haruna adalah aroma terapi yang bisa membuatnya tenang.

Dan Haruna menyuruh Davian mengabaikannya. Bagaimana bisa setelah apa yang gadis itu lakukan padanya.

.

.

.

Davian menghentikan mobilnya pada halaman sebuah rumah yang cukup besar. Suasana tampak sepi karena waktu sudah cukup larut, apalagi pada daerah yang tidak terlalu ramai seperti ini.

"Ayo, ke arah sini," instruksi Haruna mengarahkan Davian menuju sebuah rumah mungil yang tampak begitu nyaman.

Keduanya berjalan tergesa karena gerimis masih turun seolah sangat suka menjatuhkan dirinya ke bumi.

"Akhirnya," ucap Haruna. Ia melepaskan jas Davian dan mengaitkan ke gantung khusus baju basah. "Masuklah. Aku akan mengambilkan pakain Arvon untukmu."

"Arvon menyimpan pakaiannya di sini? Apa dia juga sering menginap di sini? Apa kalian..."

Haruna segera memotong ucapannya.

"Aku paham apa yang kau pikirkan, tapi semenjak aku di bawa ke sini, Arvon tidak pernah menginap di waktu yang bersamaan dengan jadwalku. Kalau pun kami datang bersama, ia memilih tidur di kamar kosong anak-anak," jelas Haruna.

Tanpa menunggu respon Davian, Haruna meletakkan tas dan ponselnya di atas meja, lalu berjalan menuju kamar.

Davain patut bernapas lega. Pasalnya Arvon juga sama berengsek sepertinya. Tidak bisa di pungkiri jika sepupunya itu bisa saja lepas kendali.

Davian tersentak saat dering ponsel milik Haruna berbunyi. Matanya tidak sengaja melihat nama Arvon tertera.

Mendengus kesal ia meraih ponsel Haruna dan menjawab panggilan Arvon.

'Haru, aku sudah mengirimkan uang ke rekening yang kau pegang. Maaf tidak bisa menemanimu ke panti hari ini,' suara Arvon dari seberang.

"Aku akan mengembalikan uangmu besok dan jangan membebani Haruna dengan urusanmu!" sahut Davian dengan nada suara yang tajam.

'Davian. Hai, sepupu. Bagaimana ponsel Haruna ada padamu? Seingatku, hari ini jadwal Haruna menginap. Atau kau juga ikut ke panti?'

"Jangan banyak bicara! Hentikan semua rencana yang sudah kau susun di otakmu itu!"

'Seorang Davian melarang seorang Arvon untuk berhenti? Ckck, sangat bukan dirimu, Dav?'

"Aku memperingati kau, Ar!"

'Kau mengancam bukan memperingati,' dengus Arvon dari seberang.

"Kalau kau masih ingan bernapas, kau harus mendengarku!"

'Davian. Davian. Kau tahu, kau terdengar seperti akan kecil yang takut kehilangan mainmu. Namun yang kita bahas bukan mainan, bukan?'

"Jaga pikiranmu, Arvon!"

'Dan aku ingin kau menjaga, Haruna, tapi itu tidak akan aku biarkan, karena akulah yang nantinya akan selalu bersamanya!'

Davian memaki Arvon, saat sepupunya itu matikan telepon. Sepupu sialan. Ingatkan Davian untuk menendang bokongnya jika bertemu.

Dengan segera Davian meletakan kembali ponsel Haruna pada tempat semula. Davian menoleh ketika suara pintu terbuka. Ia harus menahan napas ketika melihat tubuh Haruna hanya di balut piyama satin yang jatuh pas pada tubuhnya.

Sontak alarm di kepala Davian berbunyi. Alarm yang sudah lama tidak aktif dan saat melihat penampilan Haruna, otomatis saja alarm itu aktif seolah sudah di atur.

"Davian, ini pakailah," Haruna menyodorkan pakain yang terlipat tapi pada Davian.

"Aku akan memakainya, tapi aku harus mengambil sesuatu dalam mobilku terlebih dahulu." Davian mengecup kening Haruna, kemudian berbalik.

Seringaian tampil di sudut bibir Davian tanpa Haruna ketahui.

TBC

Ada yang kangen Arvon?

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya biar yang nulis semangat. Hehe

Why You? 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang