12 - Pengakuan

15.3K 1.3K 88
                                    

Mama masih mengelus-elus kepala gue yang sudah berperban. Lalu Aldi yang sudah berkacamata, berkaca-kaca menahan rasa penyesalannya sambil memegang tangan kanan gue. Sedangkan Askar yang duduk bersebrangan dengan Aldi dan Mama hanya terpaku memandang lantai.

"Maafin gue ya Rian, gue kebawa emosi. Gue tau gue salah, gue bodoh sampe nyakitin lo kayak gini," ujar Aldi dengan air matanya yang jaruh bercucuran.

"Gue nggak apa-apa  kok Al. Lo nggak salah kok."

"Gue juga minta maaf sama lo." Hebat, seorang Askar minta maaf sambil tetap terus memandang lantai. "Gue tadi juga kebawa emosi karena kepancing," ujarnya mendelik ke Aldi.

Aldi memandang Askar penuh emosi walau matanya sudah banjir air mata. Baru beberapa saat yang lalu mereka gencatan senjata, si Askar udah mulai duluan menabuh genderang perang.

"Iya Kar, gue juga maafin lo," ujar gue sambil memandang mukanya lekat-lekat. "Dan gue harap lo nggak usah nyari kambing hitam buat lo salahkan. Coba lo instrokpeksi diri lo dulu."

Askar hanya memutar bola matanya. Gue yakin dia kesal sekarang.

"Mama harap, kalian sudah bisa menyelesaikan masalah kalian bertiga tampa campur tangan mama," ujar mama mengelus kepala gue. "Semoga kalian dapat mengambil pelajaran bagaimana akibatnya kalau kalian main kekerasan," ujar mama.

Kami bertiga mengangguk. Guepun merunduk sambil memandang selimut. Perasaan gue kacau.

"Mama kebawah dulu Aldi, Askar, Rian," ujar mama seraya menutup pintu kamar gue.

Gue kembali memandang selimut gue dan memelintir-melintirnya. Gue nggak pengen ngomong sekarang. Gue bisa merasakan ada perang dingin diantara Aldi dan Askar. Pandangan Aldi begitu membenci Askar dan begitu pula pandangan Askar ke Aldi. Nggak ada bedanya, sama seperti pandangan Aldo ke gue.

"Rian," panggil Aldi yang sontak membuyarkan gue dari lamunan gue.
"Gue harap lo nggak usah rekanan buat makalah lagi sama Askar," ujar Aldi yang sontak bikin gue terkejut seperempat tewas. Aldi mulai cari perkara nih.

"Apa hak lo ngelarang-larang Adrian nggak rekanan lagi sama gue?" Askar udah kepancing omongan Aldi membalas.

"Lo udah membawa pengaruh buruk ke Adrian!" suara Aldi meninggi dan kacamatanya yang udah melorot itu menampakan matanya yang melotot memandangi Askar.

Askar terbelalak "Pengaruh buruk? Apa maksud lo?"

Aldi tersenyum kecut.
"Gue nggak pengen Adrian gue jadi homo macam lo."

Dan ucapan Aldi sukses bikin gue ikut terkejut. Apa? Askar itu gay. Oh may God. Gue memandang Askar dengan muka penuh tanda tanya.
Askar memandang Aldi dengan senyum menantang.

"Kalau gue gay kenapa? Apa bedanya lo sama gue? Lo juga demen kan sama Adrian?"

Muka gue langsung memandang Aldi penuh keterkejutan. Demi kutangnya Kayla yang gede, ini lebih membuat gue terbelalak.

Aldi terkekeh. Dia nampak tenang.
"Jadi selama ini lo cemburu sama gue deket sama Adrian, dan oleh karena itu lo berusaha ngejauhin Adrian dari Adrian? Iya kan Askar?" tantang Aldi.

Entah kenapa jantung gue berdegup lebih kencang karena pertanyaan Aldi tadi. Hati kecil gue berharap kalau Askar menjawab 'iya'.

"Kalo iya kenapa? Gue emang suka sama Adrian. Gue cinta sama Adrian," kata Askar lantang.

Gue bengong seketika dan ada rasa yang membuncah di dalam sana. Gue nggak bisa menganalogikan deh. Ciuuz...

Aldi memandang gue sebentar dan langsung memandang Askar sengit.

"Kenapa lo terkejut? Lo suka kan sama Adrian?" tanya Askar sengit.
Aldi kembali terkekeh sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.

"Lo nggak usah sok tahu deh," ujar Aldi tersenyum penuh kemenangan. "Gue sama Adrian udah deket semenjak kita TK. Dia temen gue, dia sahabat gue, dia sodara gue dan dia sama kayak gue. Dengan kata lain, kami beda dengan lo. Kami masih suka dengan lubang memek, bukan kayak lo yang suka lubang taik." Aldi memandang gue dengan senyum penuh kemenangan.

Gue tertunduk. Jantung gue rasanya terhujam puluhan anak panah oleh kata-kata Aldi yang sangat keras.

Dengan senyum penuh kemenangan Aldi menepuk bahu gue. "Adrian adalah pria normal, jadi lo nggak usah nyium-nyium dia di parkiran lagi. Nggak akan bikin dia tertarik."

Gue langsung memandang Aldi. Apa? Aldi tau kalo gue dicium Askar di parkiran Gramedia?
Hati gue kacau.

"Rian." Aldi memandang gue.
"Gue harap lo nggak usah lanjutin pembuatan makalah lo sama Askar.
Gue bisa bilang sama Ibu Silvi nanti kalo lo berdua nggak cocok bikin makalah berdua."
Aldi tersenyum. "Gue tau lo cowok normal. Jadi lo nggak usah bertemu lagi sama Askar."

Gue tertunduk seketika. Air mata gue nggak sanggup gue bendung lagi. Hati gue hancur mendengar permintaan Aldi tadi. Gue meremas selimut gue dan gue terisak.

"Maaf Al, gue nggak bisa memenuhi permintaan lo."

Aldi memandang gue penuh ketidak percayaan.
"Apa Rian?"

"Gue nggak bisa memenuhi permintaan lo. Gue butuh nilai makalah itu dan jujur gue nggak sanggup jauh dari dia."
Aldi menjauh dari gue seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan katakan kalo lo ada rasa sama si bangsat ini!" terdengar teriakan Aldi.
Gue mengangguk. Persetan dengan malu gue.

"Ya Tuhan." Aldi meremas rambutnya.
"Gue nggak bisa terima ini, gue nggak bisa terima lo jadi maho kayak gini," ujar Aldi menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak percaya.

Gue memandang Askar. Gue bisa lihat senyum sumringahnya. Jujur gue amat malu dengan mereka berdua sekarang.
"Gue rasa gue nggak bisa menerima kenyataan lo sekarang," ujar Aldi seraya keluar sambil membanting pintu.
Tangis gue pecah.

"Udah, lo nggak usah nangis. Kan ada gue," ujar Askar.

"KELUAR LO SEKARANG BANGSAT!" teriak gue ke Askar.

"KELUAR! INI SEMUA KARENA LO ANJING! "

Gue langsung membekap muka gue dengan selimut. Dan gue bisa mendengar suara pintu tertutup.

Gue telah kehilangan sahabat terbaik gue.

--- tbc
R~

------

Gue mohon vote dan komentarnya ya guys. Gue harap antum semua suka yes. 😉
R~

MY BELOVED ASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang