Gue berjalan sambil menyibakan semak-semak dan menyeret Askar penuh nafsu. Askar tetap mengikuti walau gue bawa kesemak-semak. "Kita mau kemana sih?" terdengar suara Askar bertanya ke gue.
"Ikut aja," jawab gue tanpa menoleh ke belakang.
"Nggak bisa ikut gitu aja dong, gue harus tahu kita kemana. Kalau gue diapa-apain ntar gimana?"
"Siapa yang mau ngapa-ngain lo?" Gue berhenti dan memandangnya yang telah bertampang mesum yang sukses bikin gue jengah setengah mampus.
"Lo," jawabnya tanpa dosa.
"Please deh, dewasa dikit napa. Gue nggak bakalan apa-apain lo kali," ujar gue sambil menoyor kepalanya yang udah kotor. "Makanya otak lo itu sering di bersihin."
"Eh ngapain lo noyor-noyor kepala gue, ntar gue bego gimana? Lagian otak gue nggak kotor kok," jawabnya sarkas sambil mengelus-elus kepalanya. "Bisa jadi lo mau memperkosa gue karena nggak tahan sama tubuh gue yang seperti patung Yunani ini, yang nggak bisa lo jamah semalam. Iya kan?" tuduhnya ke gue.
Gue memutar bola mata, melepaskan genggaman gue dari tangannya dan melangkah meninggalkannya di tengah semak-semak. Kadang gue jengah dengan tuduhan-tuduhan absurdnya itu. Tidak masuk diakal dan kekanak-kanakan.
"Woi tunggu gue!!" Si otak kotor mengejar gue dari belakang.
"Tapi lo takut gue perkosa? Ngapain juga lo ngejar gue," jawab gue sengit sambil mempercepat langkah gue. Karena tubuhnya yang lebih tinggi dari gue, dia dengan mudah mengimbangi langkah gue. Gue bisa mendengar kekehannya dan tiba-tiba tangannya sukses menggandeng tangan gue, tanpa adanya perlawanan.
"Gue tau lo nggak bakalan apa-apain gue." Dia mencolek dagu gue sambil mengedip-ngedip bak orang kelilipan. Huh, dasar bipolar.
Tidak lama keluar masuk semak-semak, kita (gue dan Askar) sampai di sebuah lapangan yang berada di tepi sungai. Sungai tersebut membelah kota gue menjadi dua bagian. Sebenarnya lapangan tersebut tidak jauh dari rumah Andre -yang berarti tidak jauh dari jalan besar-, hanya saja dibatasi oleh semak-semak yang tinggi menjulang laksana menara Petronas yang membuat lapangan kecil ini hanya diketahui oleh anak-anak sekitaran kompleks ini, plus gue sama Aldi, dan sekarang Askar juga.
Di tepi lapangan, tumbuhlah sebuah pohon besar dengan cabang yang cukup banyak. Diantara cabang itu terdapat rumah pohon yang sudah nampak tidak terawat lagi.
Guepun berjalan kearah pohon besar itu dan mengambil ancang-ancang untuk memanjat."Lo bisa manjatkan?" tanya gue ke Askar yang dijawab dengan kekehan khasnya.
"Lo nantang gue manjat pohon?" tanyanya balik sambil mengikuti gue memanjat pohon. "Lo nanya gue bisa manjat pohon, lo aja bisa gue panjat," ujarnya yang bikin gue mendelik ke arahnya. Apa otaknya isinya selangkangan mulu ya? Setiap ngomong ke gue, pasti berbau seks mulu. Sialan, dasar cowok libido tinggi nih orang.
Guepun terus memanjat pohon tanpa mempedulikan ocehan mesum Askar yang bikin gue jengah. Biarlah Askar tetap mengoceh, sedangkan gue tetap memanjat pohon.
Sesampai diatas rumah pohon itu, gue mengedarkan pandangan gue ke sekeliling. Nampak bangunannya sudah tidak terawat lagi, walau tidak kotor dan tampak bersih. Aldi duduk di dekat jendela rumah pohon, sedangkan Andre sibuk dengan handphonenya bersandar ke dinding bersebrangan dengan posisi Aldi.
"Thanks udah datang," ujar Aldi sambil menatap gue dingin seperti ingin hendak menghabisi hidup gue saat itu juga. Gue hanya mengangguk mengiyakan sambil mengambil posisi duduk di dekat Aldi yang membuang pandangannya kearah sungai. Sedangkan Askar duduk di seberang di samping Andre yang nampak sibuk (mungkin) dengan PUBGnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BELOVED ASKAR
RandomIni kisah tentang gue dengan Askar, ketua geng Yakuza Junior yang meresahkan warga sekolah. Sebagai pihak yang berwenang untuk itu, gue bertekat akan membubarkan geng yang telah lama bercokol di sekolah gue ini. Namun takdir berkata lain, ketika...