Jam baru menunjukan pukul enam lewat tiga puluh lima menit ketika gue sampai di depan gerbang sekolah. Gue melambaikan tangan ke Papa yang berlalu dengan mobilnya meninggalkan kompleks sekolah. Begitupun dengan adik gue, Randi -yang kebetulan ditebengin oleh Papa- juga melambaikan tangan ke arah Papa.
Gue memandang ke arah sekolah yang sepi melompong. Hanya ada Pak Syafii, penjaga sekolah yang nampak menyapu-nyapu area parkir. Selebihnya adalah bangunan besar yang bernama sekolah seperti tengah menatap gue dengan kesedihan.
"Ayo kak!" Randi menarik narik lengan baju gue. Gue menatapnya lalu tersenyum melihat mukanya yang seperti biasanya ceria bak gadis perawan.
Sebuah notifikasi pesan berbunyi dari ponsel pintar gue.
'Lo dimana sih? Masih ngolor juga, Gue udah didepan rumah lo nih.'
Gue menghembuskan nafas, sambil menutup pesan WA dari Askar. Dia pasti mengamuk besar sekarang karena gue meninggalkan dia tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Dia pasti tidak mau terima jika gue tiba-tiba bilang ke dia bahwa gue tidak mau dijemput pagi ini, dan bakalan tetap menjemput walau sudah gue larang.
Ponsel pintar gue kembali berbunyi, gue membuka smartphone gue dan mendapati nama Askar disana. Sejenak, gue sedikit ragu keputusan apa yang akan gue ambil. Mengangkat atau membiarkan panggilan Askar. Gue menatap Randi sejenak, sebelum gue menarik nafas dalam meyakinkan diri sambil mengangkat panggilannya.
"Halo?"
"..."
"Maaf kar, gue udah di sekolah sekarang."
"..."
"Gue diantar Papa. Sama Randi juga. Maaf ya kalo gue nggak bilang-bilang ke elo sebelumnya."
"..."
"Iya. Bye."
Gue menutup smartphone gue dengan jantung berdegup kencang. Syukurlah dia tidak marah ke gue. Gue tidak sanggup melihatnya marah ke gue, sampai ngambek tak karuan, dibalik kenyataan bahwa Askar akan meninggalkan gue dan gue yang harus menjauhi Askar demi keselamatan Askar dan orang tua gue.
"Dari kak Askar ya kak?" tanya Randi membuyarkan lamunan gue.
Gue mengangguk.
"Kakak kok nggak barengan sama kak Askar kak?" Dia menatap gue penasaran.
Gue menatapnya heran. Darimana dia tahu kalau gue sering bareng dengan Askar ke sekolah. Secara, guekan biasanya pakai helm.
"Randi tahu kok, kalau yang diboncengi kak Askar itu kakak. Kan Randi naik angkot yang sering disalib oleh kak Askar, jadi Randi tahu aja kalau yang diboncengi kak Askar itu kakak."
Jadi nih anak naik angkot ugal-ugalan yang sering melanggar lalu lintas itu ya. "Randi salut aja, kakak bisa berteman dengan ketua Yakuza Junior yang ditakuti itu," ujarnya."Hmm..." gue membelai rambutnya. "Sekali-kali bareng Papa dan adik sendiri boleh kan," jawab gue tersenyum kearahnya. Syukurlah kalau dia tidak beranggapan macam-macam dengan gue.
Dia mengangguk-angguk seraya melayangkan pandangan ke arah kelasnya. Tak lupa dia menoleh ke arah jam yang dia kenakan sambil menatap gue penuh makna. "Kak, Randi ke kelas dulu ya."
Gue tersenyum sambil menepuk bahunya, sebelum Randi berjalan ke arah kelasnya.
Guepun menyusuri koridor kelas XI yang sepi, sambil tetap memikirkan tindakan apa yang akan gue ambil ke depan. Ancaman si Anonymous terngiang-ngiang di fikiran gue sampai saat ini. Gue sangat takut, saking takutnya gue hampir tidak bisa tidur semalaman.
Setelah masuk ke dalam kelas, gue meletakan tas di bangku dan mengeluarkan buku untuk mengusir kebosanan. Gue terlampau pagi untuk pergi ke sekolah, bahkan siswa yang bertugas piket saja belum datang. Gue membalik-balik halaman buku tanpa satu halamanpun yang dapat diserap oleh otak gue. Bunyi notifikasi di smartphone gue berbunyi, sehingga gue menutup buku lalu membongkar tas dan membuka aplikasi Line.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BELOVED ASKAR
RandomIni kisah tentang gue dengan Askar, ketua geng Yakuza Junior yang meresahkan warga sekolah. Sebagai pihak yang berwenang untuk itu, gue bertekat akan membubarkan geng yang telah lama bercokol di sekolah gue ini. Namun takdir berkata lain, ketika...