Malam menjelang pagi all. Aku harap antum semua diberikan anugerah kesehatan dan keselamatan dari Tuhan sehingga antum semua dapat melaksanakan rutinitas seperti biasa.Sebelumnya aku minta maaf karena telat dalam mempublikasikan bagian 36 ini berhubung aku kemarin harus nginap di RS beberapa hari. Alhamdulillah, sekarang aku udah diperbolehkan untuk pulang dan aku harus nyuri-nyuri kesempatan buat mempublikasikan cerita ini karena memang kesehatanku belum pulih benar. Mohon doanya yes
So, seperti biasa aku mengharapkan vote dan komentar yang banyak dari antum semua sehingga aku tetap bersemangat untuk mempublikasikan cerita ini.
Terima kasih, selamat membaca dan salam.
R~ 😘------
Gue masih berusaha tersenyum menatap Askar yang tertidur di meja perpustakaan. Dia cabut dari mata pelajaran lagi. Matanya yang menghitam membuat gue semakin menderita untuk berlama-lama disana. Ada rasa sakit sekaligus tidak rela berkecamuk di hati gue saat ini.
Gue meletakan beberapa buku yang akan gue pinjam di meja dan mengambil posisi duduk di sampingnya. Gue merebahkan kepala dan menatap wajahnya yang tentram, walau banyak beban yang harus dia tanggung sekarang ini.
Gue mengelus rambutnya yang sedikit berantakan, menyentuh wajahnya yang membuat gue rindu untuk melihatnya. Bulir-bulir air mata gue berjatuhan memandangi wajahnya yang menanggung beban. Sekali lagi, ada rasa tidak rela sekaligus sakit disaat mengetahui kalau gue tidak akan melihat wajah ini lagi.
Askar terbangun ketika ujung jari gue menyentuh bibirnya. Dia nampak terkejut dengan kehadiran gue. Dia sangat gelabagan membuat senyum gue mengembang melihatnya.
"Rian, lo disini? Lo nggak belajar." Dia mengusap wajah sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Hehe, gue izin sebentar buat minjam buku." Sambil menunjuk buku yang bertengger di atas meja.
"Lo menangis?" tanyanya sambil menyeka wajah gue yang basah.
Lo harus kuat Rian, lo harus kuat. Sangat sakit rasanya ketika lo harus berpura-pura gembira disaat orang yang lo sayang menderita.
Gue pura-pura tertawa. "Hah? masak, nggak kok," ujar gue menepuk-nepuk wajah sekaligus menyingkirkan tangannya dari wajah gue. "Gue mungkin kelilipan."
"Nggak, kok basah gini." Askar menunjukan jempolnya yang sedikit basah.
"Air liur lo kali."
Dia menatap gue sambil memegang kedua pundak gue.
"Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa kok."
"Trus? Ngapain lo nangis Rian?"
"Kan udah gue bilang gue nggak nangis," bantah gue melepaskan tangannya. Semakin gue berusaha tegar semakin sakit yang gue rasakan, membuat mata gue tergenang air mata dan jatuh mengikuti grafitasi.
Askar memeluk gue. Dia tidak memaksa gue untuk menceritakan masalah gue, seperti apa yang terjadi dengannya beberapa hari yang lalu di jembatan layang. Askar membelai-belai rambut gue selagi gue menumpahkan semua perasaan yang gue pendam selama beberapa hari ini.
Gue kembali menatap mukanya, membelai rambutnya yang sedikit pirang, telinganya, matanya yang hitam, hidung mancungnya, bibirnya yang menggairahkan, membuat gue tidak dapat menahan diri gue untuk tidak mendaratkan bibir gue ke bibirnya.
Kita berciuman panas. Kadang Askar melesatkan lidahnya kedalam mulut gue dan kadang gue menggigit-gigit bibirnya, hingga kita menuntaskan 'permainan' sebelum lupa diri kalau ini di perpustakaan sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BELOVED ASKAR
RandomIni kisah tentang gue dengan Askar, ketua geng Yakuza Junior yang meresahkan warga sekolah. Sebagai pihak yang berwenang untuk itu, gue bertekat akan membubarkan geng yang telah lama bercokol di sekolah gue ini. Namun takdir berkata lain, ketika...