17 - Cabut

13.8K 1K 58
                                    

Fikiran gue sudah melayang-layang entah kemana sambil menopang dagu gue dengan tangan kiri dan mengaduk-aduk bakso gue dengan sendok di tangan kanan.

"Lo nggak mau makan tuh bakso?" tanya Andre sambil menatap mangkuk bakso gue dengan wajah lapar.

Guepun menyerahkan semangkuk bakso yang belum gue sentuh itu ke Andre.

"Horray! Makasih ya bro!" Dan tangannya menyambut hangat mangkok dari gue.

Gue kembali menghela nafas. "Kita nggak bisa melobi guru untuk menjenguk Aldi sebelum pulang sekolah apa?" tanya gue.

"Nggak bisa lah bro. Kan ketua udah bilang tadi. Guru nggak ngizinin."

"Ah nggak asik nih guru. Siswanya ada yang dapat musibah, malah disuruh jenguk ntar sore," ujar gue menepuk meja.

"Lo sebenarnya nyalahin guru ato diri lo sendiri sih?" Gue tertegun. "Lo nggak bisa jenguk Aldi karena ntar sore ada rapat yang wajib lo hadiri kan. Kenapa lo harus nyalahin guru sih," kata Andre sinis sambil menyeruput kuah bakso.

"Gue nggak nyalahin guru kok." Gue memandang Tia yang sendari tadi mandangin gue dan dia tersenyum merona seraya menyembunyikan mukanya.

"Gini aja Rian," Gue memandang Andre lekat-lekat. "Lo bisa milih dua pilihan, lo nggak ikut rapat dan bisa ikut bareng kita ngebesuk Aldi atau lo tetap ikut rapat dan memendam rasa khawatir lo sampai sepulang rapat OSIS dan MPS lo nanti."

Gue cuman mengangguk. "Ada opsi ketiga nggak?" tanya gue bercanda ditengah kekalutan akan keadaan Aldi yang belum jelas kabarnya.

"Kecuali lo bisa cabut keluar dari sekolah pas istirahat kedua nanti," ujar Andre  menandaskan bakso gue. "Mustahil. Bahkan untuk seorang anak kepala sekolahpun untuk menerobos gerbang sekolah kita."

Gila dia mengibaratkan sekolah gue penjara apa.

Sambil masih bertopang dagu, gue mengetuk-ngetukan jari ke meja dan memandang ke sekeliling.

"Iya deh Ndre, gue ke kelas dulu," ujar gue. Guepun bangkit dan meninggalkannya di kantin sendirian.
Sambil berjalan-jalan di koridor sekolah yang sarat bertubrukan dengan siswa lain, gue harus berfikir ekstra untuk membobol gerbang sekolahan yang dijaga pak Karma yang garangnya melebihi meneer Belanda. Dengan kumis tebal melentik bagaikan Stalin dan suara menggelegar bagai Hitler, sangat pas menjadi karma buat yang suka telat dan suka bolos.

Dan tiba-tiba tangan gue ditarik seseorang dan mendudukan gue disalah satu bangku di depan kelas.
Gue cuman bisa tersipu malu menatap seseorang yang bikin jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Dari mana?" tanya Askar yang duduk di samping gue sambil mengokang-ngokangkan kakinya sambil sok cuek.

"Dari kantin, sama Andre tadi."

Askar memandang gue mengintrogasi.
"Ngapain ke kantin?"

Gue terkekeh mendengar pertanyaannya yang lucu. "Ya makan lah, apalagi. Kenapa, ada yang salah?"

"Nggak kok, gue cuman penasaran aja, kenapa lo sampe murung gitu," ujarnya seraya menunjuki gue pakai tangan kiri. Nggak sopan banget.
Guepun menjauhkan telunjuknya dari muka gue yang sebelas dua belas kayak muka nabi Yusuf ini.

"Gue mau jenguk Aldi. Dia kecelakaan."

Askar terkejut. "Aldi kecelakaan?!"

Gue mengangguk. "Gue pengen liat dia Kar. Tapi ntar sore gue ada rapat MPS, jadi gue nggak besuk dia bareng teman-teman ntar sepulang sekolah. Gue pengen lihat keadaannya, makanya gue jadi cemas sejak dari tadi." Tanpa sadar gue menyandarkan kepala gue ke bahunya, sampai gue cepetan mengangkat kepala gue dari bahunya setelah sadar kalo ini di sekolah.

MY BELOVED ASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang