47 - Introgasi

3.7K 286 54
                                    

Dengan langkah tergesa-gesa, gue keluar dari ruangan OSIS sambil melirik jam yang melingkar di tangan kanan gue. Gue baru saja menghadiri rapat persiapan class meeting yang molor sekitar setengah jam dari jadwal yang telah direncanakan. Ditambah lagi dengan banyaknya pengurus OSIS yang malah datang terlambat membuat rapat terakhir itu semakin alot. Syukurlah, sang ketua panitia dapat menghandle anggotanya sehingga rapat tersebut selesai jam dua sore lewat dua puluh lima menit. Satu jam kurang lima menit dari perkiraan gue sebelumnya. Pasti Askar sudah lama menunggu di danau belakang sekolah.

"Adrian tunggu!" teriak Ridho sambil menarik gue dengan kuat. Bersama Sandi, dia lalu mendudukan gue di salah satu bangku di depan ruang OSIS sambil menatap gue penasaran. Gue berusaha berontak hendak melepaskan diri, tapi apa daya kekuatan gue yang tidak sebanding dengan kekuatan mereka berdua sukses membuat seorang Adrian Aditya terpaksa duduk di depan meja interogasi.

Caca dan Vivi lalu duduk di depan gue sambil menopangkan kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja, laksana interogator FBI yang ada di film-film. Syukurlah tidak ada lampu gantung di atas kepala kami, menambah kesan dramatis kejadian ini. Hal tersebut malam membuat gue teringat dengan salah satu adegan film kartun dari negeri jiran.

"Gue ada urusan penting nih," gue berontak berusaha melepaskan kedua tangan gue dari Ridho dan Sandi.
"Please Dho, San, tolong gue," pinta gue memelas.

"Jangan biarkan dia sampai lolos Dho, Ndi!" tukas Caca laksana ketua interogator kali ini. Caca lalu melirik gue,
"lo harus menjelaskan berita panas tentang lo, sehingga berita gue up to date."

"Ini bukan menjelaskan bego!" bentak gue yang geram dengan kelakuan mereka, "ini pemaksaan tau nggak. Gue ada urusan penting nih." Gue berontak lagi.

"Terserahlah apa namanya, kita nggak peduli itu. Yang penting lo mengklarifikasikan foto viral saat ini," Vivi bersuara dengan muka senyam senyum tidak jelas.

Sialan. Kalau tahu akan seperti ini, gue pasti akan mangkir dari rapat hari ini. Sudahlah membuang-buang waktu berharga gue, terus pakai acara di sandera admin Lambe Tumpah ini pula. Apes banget dah gue hari ini.

"Foto apa?" tanya gue berlagak pilon.

"Ini loh shay, foto elo yang sepayung berdua tadi pagi," ujar Vivi sambil menyodorkan layar handphonenya ke depan wajah gue. Gue meneguk ludah menatap foto yang terpampang jelas memperlihatkan gue yang tengah sepayung berdua dengan Tia. Ini pasti di dapat oleh salah seorang bocah yang menfotoi gue tadi pagi.

"Oke, gue bakal jelasin. Tapi, tolong lepasin gue dulu. Gue nggak bakalan lari."

Ridho dan Sandi lalu melepaskan pegangan mereka sambil nyengir ke gue. Gue hanya membalasnya dengan dengusan. Begitupun dengan Vivi dan Caca yang nampak sumringah.
Maaf ya Kar, lo harus nunggu lama lagi gegara empat bedebah ini.

"Gue mulai dari mana nih?" tanya gue dengan nada bosan. Tak lupa tangan tertopang dan telunjuk mengetuk-ngetuk meja.

Caca menjentikkan jarinya. "Gimana hubungan lo dengan Tia sekarang?"

"Biasa aja."

"Hey, hey, lo udah nembak dia belum?" Ridho kini bersuara.

"Belum, gue belum ada kefikiran ke sana," jawab gue dingin.

Pertanyaan Ridho melemparkan gue ke kejadian tadi pagi. Tia menangis tersedu-sedu sampai Aldi dan Andre masuk ke dalam kelas tanpa permisi. Andre yang hiperbolis sempat syok dan heboh, menanyai Tia apakah gue melakukan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya. Tak lupa menuduh gue macam-macam terhadap Tia.
Please deh, hal yang paling lancang yang telah gue lakukan kepada Tia adalah memeluknya erat. Itu saja, tidak lebih. Begitupun Aldi yang sempat bingung, sebelum dia melihat bunga mawar serta kartu yang tergeletak di meja. Syukurlah si Edogawa Conan gue itu faham, mengajak Andre yang rempong itu keluar dari kelas meninggalkan gue dan Tia berdua.

MY BELOVED ASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang