44 - Rumit

4.1K 334 52
                                    

“Nama kamu siapa?”

“Adrian Aditya tante.”

“Jadi nama kamu Adrian Aditya?” tanya nyokap Askar memandang gue penuh benci dan amarah. Mata beliau berkilat-kilat seperti hendak melumat gue.

“I...iya tante.” Gue meremas baju yang gue kenakan tanpa mau menatap sang calon mertua yang ganas. Rasanya gue bakalan babak belur malam ini di permalukan oleh si nyonya besar.

“Jangan menekur saja, dan jangan panggil saya tante.”

Gue menaikan kepala menatap matanya yang seperti tengah menelanjangi gue. Tatapannya yang menusuk membuat gue menjadi ngeri untuk berlama-lama menatapnya. “Jadi saya harus memanggil ibu dengan apa?” tanya gue.

“Panggil saya nyonya besar,” jawabnya dengan nada sombong.

“Baik nyonya.”

“Kamu ada hubungan dengan anak saya?”

“Eng, anu.”

“Jauhi anak saya! Saya tidak sudi anak saya menjalin hubungan dengan kamu!”

“Tapi nyonya...”

“Saya sangat jijik melihat muka kamu. Dasar homo! Keluar kamu dari sini, keluar kamu dari rumah saya!” teriak wanita itu dengan keras sambil berdiri memukul meja.

Gue hanya terdiam membeku di kursi menatap nanar piring berisi makanan yang sama sekali belum gue sentuh. Gue tidak mungkin berlari begitu saja keluar dari rumah dengan mata berlinangan air mata sambil menutup mulut, di tambah dengan hujan deras dan suara petir yang menggelegar. Ini bukan sinetron-sinetron picisan yang tayang di televisi.

Askar menepuk bahu gue, lalu menggoncang-goncangkan gue dengan keras.

“Adrian, oi Adrian!” Askar menggoyang-goyangkan tubuh gue.
“Lo kenapa sih?” tanya dia, membuyarkan semua khayalan gue tentang nyokapnya yang ganas dan tidak berperi kemaluan (yang tidak punya perasaan malu-red).

Gue menatap mata wanita yang telah melahirkan calon pacar gue itu sekali lagi.
“Nama saya Adrian Aditya tante,” ujar gue memperkenalkan diri sambil berusaha setenang mungkin kepada perempuan cantik itu.

“Kamu teman sekelasnya Askar?”

“Tidak tante. Saya dan Askar pernah satu kelompok bersama membuat makalah Bahasa Indonesia tante,” jawab gue apa adanya.
Beliau menatap gue sekilas sambil memasukkan makanan yang telah terhidang ke mulutnya.

Nyokapnya Askar terlihat sebagai perempuan yang sangat sibuk dan berpengaruh. Rambut sebahu, dengan wajah tegas dan kacamata beliau yang berframe besar membuat beliau terlihat seperti ibu Sri Mulyani. Memakai stelan khas wanita karier dengan perhiasan yang mewah, membuat gue yakin beliau adalah wanita berkelas.

“Oh ya, seberapa dekat kamu dengan anak saya?” tanya nyokap Askar sambil memotong bistik yang ada di piringnya tanpa melihat ke arah gue sedikitpun. Seram juga ini ibu-ibu.
Gue menoleh ke Askar sejenak sebelum mengambil nafas dalam, hendak menjawab pertanyaan si tante yang bikin dilema itu.

“Cukup dekat tante. Kami cukup mengenal satu sama lain.”

Si tante memandang gue, seperti mencerna jawaban gue tadi. Beliau menggeleng seperti sedang membuyarkan pikirannya lalu kembali memotong bistik buatan Bi Ijah.

“Kamu dan anak saya tidak ada hubungan yang spesial kan?” tanya beliau yang sontak membuat gue tersedak saking kagetnya.

Askar secara spontan langsung meraih gelas dan menyerahkannya ke tangan gue, tak lupa tangannya yang lain membarut-barut punggung gue. Gue lalu mengucapkan terima kasih, lalu meminum air pemberian Askar sambil terus memandangi nyokap Askar yang tengah menikmati makanannya tanpa terganggu sedikitpun. Dia kelihatan acuh tak acuh. Askar juga terlihat terkejut dengan pertanyaan nyokapnya yang frontal dan mengena tepat sasaran itu.

MY BELOVED ASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang