Tiga belas

574 63 40
                                    

Aku seperti mendengar beberapa orang bicara di sekitar ku tapi kepala ku masih sangat sakit untuk memahami apa yang orang-orang itu bicarakan. Perlahan ku buka mataku dan menyesuaikan pandangan ku dengan sinar dari bola lampu yang masuk ke mataku.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga Ra." Cahya terlihat berdiri di sebelahku.

"Ra, udah sadar?"

"Ra, tadi kenapa?"

"Ih kalian ini, tunggu dulu Akira masih perlu waktu."

Aku lihat Tari dan Agnes bergantian menanyai aku, sedangkan Resa berusaha mengingatkan kedua teman kami itu agar memberi aku waktu.

"Ra, kalau ngerasa udah baikan kita siap kok dengerin ceritamu." Aku lihat Cahya memegang tanganku.

"Iya Ra, jangan di pendam ya." Novia juga tak mau kalah dengan teman ku yang lain.

"Aku nggak apa-apa kok." Aku berusaha memberi jawaban yang akan menenangkan kepanikan kelima teman ku itu.

Aku melihat sekeliling ku ternyata aku berada di kamar rumah sakit.

"Kalau nggak apa-apa kenapa tadi kamu bengong sampe berjam-jam di lobby?" Tari membantah ucapanku dengan kata-kata yang mampu mengingatkan ku pada kejadian tadi di lobby.

"Tadi aku kenapa?" Aku balik bertanya.

Aku melihat beberapa teman ku menepuk jidat dan menghela nafas. Aku yakin mereka juga bingung apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Padahal aku juga bingung.

"Terus, kalau kau sendiri nggak tau kau kenapa, siapa lagi yang tau Ra?" Novia menjawab sambi mendekatkan wajahnya padaku.

"Kalian bilang aku bengong. Ya jelasin aku gimana aja selama bengong."

"Ya cuma bengong aja. Kau natap ke arah kamar mandi lama kali sampe badanmu di guncang-guncang sama si Fadli juga kau nggak sadar."Agnes menjelaskan kejadian itu sambil memegang pundakku.

Pintu rumah sakit ini memiliki kaca di tengahnya yang seukuran dengan wajah manusia dengan tinggi seukuran kepala manusia. Jadi kalau ada orang lewat kita bisa liat kepalanya saja. Di ruangan ku cukup rame jadi aku nggak syok lagi meski aku masih memikirkan Dante.

Kenapa dia nggak ada disini? Aku membatin sedih sambil melihat ke kaca yang ada di pintu berharap Dante ada di luar.

"Tadi yang bawa aku kesini siapa?" Aku memastikan apa Dante membawaku kesini di temani oleh teman-teman ku atau tidak.

"Kita dan Fadli." Novia menjawab pertanyaanku.

"Nggak ada senior kita di tempat aku bengong tadi, ya?" Seakan nggak yakin aku terus memastikan.

"Nggak. Kau cuma sendiri disana." Jawaban Tari membuat hatiku sakit.

Teganya dia ninggalin aku sendiri disana. Aku membatin dengan sedikit marah pada Dante.

Setelah merasa cukup kuat aku memilih pulang meski teman-teman ku bilang lebih baik di rawat dulu dan mengabari kedua orangtuaku. Tapi tetap saja aku nggak suka di rumah sakit, akan banyak hantu yang ku lihat aku nggak suka itu. Aku kembali sendiri ke kampus untuk mengambil mobilku. Teman-teman ku menawarkan untuk menemaniku ke kampus tapi aku menolak karena sudah lewat jam tujuh malam, nanti mereka akan kesulitan mencari angkot untuk pulang ke rumah mereka.

Aku berjalan lurus dari gerbang masuk FF menuju ke FMIPA, dari farmasi ke MIPA tinggal lurus aja. Kampus udah sepi parkiran motor dan mobil mahasiswa juga udah sepi hanya beberapa motor dan mobil disana. Lampu di parkiran hanya satu yang hidup membuat kesan seram di parkiran lebih terasa ketika menjelang malam begini.

Halo Dante (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang