Dua puluh delapan

506 57 46
                                    

"Selamat malam bu Akira." Suster jaga menyapaku.

"Malam sus." Aku tersenyum membalas sapaan dari suster.

"Kita periksa dulu ya bu." Suster itu mulai mengeluarkan buku dan pulpennya. Dia membuka kancing atas bajuku dan memeriksa detakan jantungku.

Aku kan masih muda masa di panggil ibu terus. Aku membatin dengan wajah tak suka karena berulang kali di panggil ibu oleh suster itu.

Malam ini aku sendiri di rumah sakit karena papa masih diluar kota, sedangkan mama tidak bisa meninggalkan kedua adikku di rumah. Aku juga nggak masalah kalau harus sendiri.

Ini masih jam delapan malam dan baru sejam yang lalu aku selesai makan malam. Teman-teman ku tak bisa menjagaku di malam hari karena tugas kami banyak jadi mereka juga harus mengerjakan jurnal.

"Kalau kondisi ibu baik begini mungkin beberapa hari lagi sudah bisa di rawat jalan saja bu." Suster tersenyum padaku.

Sambil menyusun peralatannya suster itu memberitahu aku, ternyata hanya aku saja yang masih menempati ruangan ini. Informasi dari suster itu membuat aku sedikit merinding mengingat ini rumah sakit dan aku sendirian.

Di setiap ruangan memang di sediakan dua televisi untuk mengusir jenuh yang merayap di pikiran pasien. Malam ini aku hanya ditemani suara berisik dari siaran yang aku pilih di televisi.

Kejenuhanku segera hilang begitu aku melihat seseorang yang sangat ku kenal datang menghampiriku dengan senyum khas yang selalu melekat di wajahnya.

"Kemarin dan tadi kamu kemana? Kok nggak ada datang?" Aku langsung menghujani Dante dengan berbagai pertanyaan padahal dia belum duduk.

"Kenapa harus bertanya kejadian yang udah lewat? Yang penting waktu kamu sendiri aku datang, kan?" Dante duduk sambil mematikan televisi yang ada di depan ku.

"Gimana kondisi kamu?" Dante menatap ku.

"Baik." Aku menjawab dengan singkat.

"Kamu datangnya malam banget, ntar pulangnya gimana?" Aku mencemaskan bagaimana Dante akan pulang jika saat ini saja sudah hampir jam sembilan malam.

"Gampang, tinggal pake jurus menghilang." Dante tertawa sambil menarik nafas lega.

Malam ini angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya, sekaligus juga lebih dingin. Sesekali bisa ku lihat kilat di luar sana saling bersahut-sahutan. Aku menarik selimut tipis dari rumah sakit ini dan menutupi seluruh tubuhku agar tidak kedinginan.

Dante jelas tidak kedinginan, dia memakai jaket dan sepatu, itu pasti cukup menghangatkan tubuhnya.

"Dant, kamu pulang aja." Aku menoleh ke arah Dante.

"Ngusir?"

"Eh, bukan gitu, lihat di luar udah mau hujan nanti kamu kehujanan." Aku menjelaskan agar dia tidak salah paham.

"Oke. Aku pamit, ya." Dante mulai beranjak dari tempat duduknya dan memasukkan kursi ke bawah ranjangku.

"Kamu nggak takut?" Dante menyempatkan bertanya padaku sebelum keluar dari pintu.

"Kenapa harus takut?"

"Kamu di sini sendirian, kan?" Dante bertanya sambil berlalu meninggalkan ruangan ku.

Aku udah nggak heran lagi kalau Dante tau situasi di sekitar ku tanpa ku beritahu. Aku melihat pintu masih terbuka dan angin masih leluasa masuk ke ruangan ku ini.

Dingin malam ini terasa berbeda, seperti bukan anginnya saja yang dingin tapi ruangan ini juga memang dingin meski angin tak berhembus masuk ke dalam.

Halo Dante (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang