Tiga puluh sembilan

559 68 57
                                    

"Gimana?"

"Hah, capek lah."

Hari ini di kampus benar-benar melelahkan bagi kami semua terlebih bagiku. Cahya terlihat baru keluar dari masjid mungkin baru selesai sholat karena aku melihat jam di tanganku menunjukkan pukul satu siang.

"Jadi, ada nggak junior yang ganteng?" Cahya kembali bertanya padaku.

"Ingat, dilarang pacaran." Tari bertindak seolah dia adalah penasehat.

"Nanya doang bukan pacaran." Cahya menjawab dengan nada ketus dan wajah yang di buat-buat manyun.

"Ada sih." Aku menyahut setelah selesai menyeruput milkshake ku.

"Iya? Kelas apa? Biar nanti aku buntuti." Resa menjawab dengan semangat seperti pejuang mungkin ya.

"Semangat banget kalau soal cowok, dasar wanita labil." Agnes yang memang tomboy selalu nggak tertarik dengan pembahasan alay kami.

"Kayak situ aja nggak labil kalau bahas senior." Novia nimbrung ke kami setelah sejak tadi nggak muncul.

"Dari mana?" Aku menggeser sebuah kursi yang ada di sampingku agar Novia bisa duduk.

"Abis ketemu sama adik angkatku. Banggg!" Novia berteriak memanggil pegawai kantin kami untuk memesan makanan.

"Saya mau pesan jus martabe, sama nasi goreng spesial ya. Telor nya di ceplok jangan di dadar." Novia menyebutkan pesanannya lalu mulai mendengarkan curhatan meong kami yang nggak pernah jelas ini.

"Jadi gimana junior tadi, Ra?" Cahya kembali melanjutkan pertanyaannya perihal adik tingkat kami.

"Manis sih, kalau dari segi fisik mendekati sempurna lah, sifat ke senior juga baik kok. Aku di ajakin dinner malah."

Mendengar penjelasan ku serentak semua teman ku tertawa. Aku sendiri pengen ketawa tapi ya nggak enak juga kan ngetawain diri sendiri.

"Berani banget. Nggak tau apa neng Akira ini calonnya bang Ignasius." Tari menyahut sambil menyenggol lenganku.

"Ya, namanya juga becanda." Aku mencoba menetralkan hatiku agar tidak terlihat salah tingkah.

"Eh, tapi bisa aja kan dia serius ngajak kau makan. Lumayan loh makan gratis, buat anak kos itu udah termasuk berkah di akhir bulan." Agnes memperlihatkan sisi anak kosannya.

"Akira nggak perlu yang begituan, cowok dia aja orang kaya. Kalau soal makan gampang tinggal telpon datang deh makanan. Ya kan Ra?" Tari kembali menggodaku.

"Dia bukan cowok ku. Harus berapa kali sih aku jelasin, aku sama bang Ignasius itu cuma teman."

"Semua juga awalnya teman kali Ra. Lagian bang Ignasius ganteng kok, pemilik apotek lagi. Apa coba yang kurang?" Cahya ikut-ikutan.

"Yang kurang cuma senyumannya nggak sama dengan seseorang yang pernah ada di hidupku."

Tanpa ku sadari aku teringat pada Dante, dengan segera air mata mulai mengalir di wajahku menyadari bahwa sudah beberapa bulan aku menjalani hari-hariku tanpa dia.

Halo Dante (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang