Cuaca pagi ini sangat bersahabat. Setelah menempuh satu jam perjalanan dari Medan akhirnya kami sampai di Cinta Alam. Cinta Alam di kelilingi pepohonan dan ada sebuah sungai yang mengalir di sekitarnya.
Jam sembilan pagi bus kami sampai di Cinta Alam, itu membuat kami masih sempat menikmati udara sejuk yang ada di sini. Tempatnya cukup luas tak seperti yang aku bayangkan.
"Huaaaaa .... Segar coy, nggak kayak di Medan panas, sesak." Aku lihat Tari merentangkan kedua tangannya dan menghirup nafas dalam-dalam.
"Ho'oh udah lama aku nggak ngerasain udara sejuk begini." Resa ikutan menarik nafas seperti Tari.
"Dek ... dek ... sini-sini baris di sini." Seorang senior memberi arahan pada kami.
Semua maba bergerak seperti semut mengikuti instruksi dari senior yang ada di depan kami.
"Dek, kita akan bermalam disini. Kamar kita ada di atas sana." Kakak itu memberi arahan sambil menunjuk sebuah gedung yang ada di depan kami.
Gedung-gedung di Cinta Alam memiliki dataran yang berbeda-beda. Karena tanah disini tidak rata dan semua gedung di bangun di tempat yang lebih tinggi ketimbang tempat kami berdiri ini.
"Satu kamar diisi tujuh orang. Ingat ya, sejenis." Nada penekanan terdapat pada kata sejenis yang di ucapkan oleh kakak itu.
"Pagi semua." Bang Yuda mengambil alih pembicaraan.
"Pagi banggg." Serentak semua maba menjawab kecuali aku.
Aku bahkan tak mempedulikan kata-kata dari bang Yuda ataupun Kak Marenta yang tadi memberi arahan pada kami. Pikiran ku sedang terpusat ke satu tujuan, yaitu mencari. Aku mencari Dante, sejak kami sampai aku tak melihatnya. Diantara semua panitia juga aku tak lihat ada dia. Padahal biasanya dia sudah berdiri di depan dan senyum-senyum padaku.
Plak ...
Agnes memukul pundak ku dan membuyarkan lamunanku tentang Dante.
"Ada apa sih? Sakit loh." Aku meringis karena sakit di pundakku yang di pukul oleh Agnes.
"Itu liat." Agnes memancungkan bibirnya sebagai pertanda agar aku melihat kedepan.
Melihat kode dari Agnes aku langsung melihat ke depan ada apa sebenarnya di depan sana.
"Dengar kesini ya dek, jangan melamun."
Saat aku melihat ke depan yang dapati hanyalah teguran dari bang Yuda. Teguran lembut meluluhkan hatiku, sekaligus membuat malu juga. Aku tak menjawab kata-kata bang Yuda, aku hanya menunduk karena entah sudah berapa banyak arahan yang diberikan bang Yuda tapi aku tak mendengar satupun.
"Itu saja arahan dari abang untuk kalian. Keluarkan ponsel kalian dan kasih ke kak Lidwina." Bang Yuda menutup pengarahan dengan menyuruh kak Lidwina mengumpulkan ponsel kami.
Memang sudah diberitahukan dari awal kalau kami tidak boleh membawa ponsel jadi kalau mau bawa nggak masalah tapi harus di kumpul dan akan di kebalikan setelah acara kami selesai.
Setelah ponsel di kumpulkan kami pergi menuju aula besar yang ada di Cinta Alam. Kami duduk di lantai dengan alas tikar. Disinilah kami memulai kegiatan kami hari ini, mulai dari makan siang, games, vokal grup dan pembagian kakak dan abang angkat.
Sejak tiba dan sampai saat ini sudah mau makan siang aku tetap nggak ngeliat ada Dante disini. Aku nggak bisa berhenti mikirin dia, padahal kemarin aku sangat kesal padanya karena dia ninggalin aku sendirian di lobby.
Ngapain juga mikirin cowok nggak punya otak. Aku membatin sambil membuka kotak nasi yang ada di hadapanku.
"Kalian boleh makan di aula, boleh juga di sekitar pepohonan sana, tapi jangan mengotori rumput disana. Kalau ada sampah harus kalian kutip." Kak Glory memberi tahu kami sambil menunjuk ke arah luar aula.
"Kita makan di luar yuk." Aku mengajak teman-teman ku untuk makan di sekitar pepohonan diluar.
"Panas ah terik mataharinya di sini aja, Ra." Novia menolak ajakan ku dan beberapa teman ku juga mengiyakan kata-kata dari Novia.
"Ya sudah aku ke sana, ya." Aku kembali menutup kotak nasi ku dan membawanya bersamaku ke pepohonan di luar aula.
Di sekitar pepohonan ini ada banyak meja dan kursi jadi memang tempat yang cocok untuk makan siang. Angin sepoy-sepoy seperti mengelus pelan wajahku menambah selera makan ku siang hari ini. Sesekali aku menutup mataku menikmati suasana yang ada di sekitarku sambil mengunyah makanan di mulutku.
Sejuknya disini. Jadi pengen tinggal disini deh. Aku membatin sambil menghirup nafas dalam-dalam.
"Tinggal samaku di sini, mau?"
Mendengar suara itu ketenangan ku jadi terganggu dan kesejukan yang tadi ada hilang dalam sekejap. Pria pemilik suara itu berjalan pelan ke depanku lalu mengambil sikap duduk dengan tangan dilipat diatas meja.
"Ngapain kesini?" Aku bertanya dengan nada yang ketus.
"Nemani kamu." Dia tersenyum dengan sempurna seolah tak merasa bersalah.
"Aku nggak butuh. Pergi sana." Aku mengusirnya tanpa melihat wajahnya sedikitpun.
"Nanti aku pergi kamu nyariin." Dia menggodaku.
Aku tak mampu menjawab kata-kata darinya, mata ku melirik sedikit ke arah wajahnya sambil memastikan apa dia tersenyum atau tidak.
"Jangan di lirik, di liat juga nggak ada yang larang kok."
Aku ketahuan. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku kembali ke kotak nasi yang ada di hadapanku.
"Kamu kalau malu mukanya lucu keringatan gitu." Kata-kata darinya semakin membuat aku malu dan ingin pingsan saja rasanya.
"Dan ..."
"Apa?"
Belum aku sempat menyelesaikan kata-kata ku Dante sudah lebih dulu mencelanya sehingga aku nggak jadi meneruskan kata-kataku.
"Kamu mau ngomong apa?" Dia kembali bertanya padaku.
"Kenapa kemarin kamu tinggalin aku, lagi?" Aku langsung bertanya hal yang mengganjal dihatiku sejak kemarin.
"Aku nggak ninggalin kamu." Dia menjawab dengan santai.
"Kamu ninggalin aku di lobby, bang Yuda yang bawa aku ke kelas." Aku menjelaskan dengan nada suara yang meninggi.
Selera makan ku sampai hilang karena membahas masalah itu dengan Dante. Aku membiarkan makananku menganggur menanti aku memakannya tapi tak ku sentuh lagi.
"Enggak." Jawaban dari Dante membuat ku semakin kesal.
"Kamu ninggalin aku padahal kamu tau kepalaku luka. Kamu kenapa nolong setengah-setengah?" Aku semakin emosi padanya.
"Aku nggak pernah ninggalin kamu dalam keadaan terluka. Bahkan saat kamu sudah baik-baik saja aku masih memastikan kamu aman." Dante terlihat berkata jujur tapi aku masih marah.
"Tapi kenyataannya kamu ninggalin aku Dante." Aku masih ngotot dengan pemikiran ku.
"Kalau kamu nggak ngeliat aku, bukan berarti aku ninggalin kamu."
"Maksud kamu apa?" Aku masih bingung dengan jawaban dari Dante barusan.
"Akira saat kamu terluka aku nggak bisa nolongin kamu, tapi aku bawa kamu ke tempat dimana banyak orang yang bisa nolongin kamu." Dante membuatku semakin bingung dengan kata-katanya
"Maksud kamu apa?"
"Aku cuma nggak mau orang menganggap kamu aneh." Dante menatapku dengan senyum tipis di bibirnya.
__❤🖤❤__
Haiii...
Thanks ya yang masih stay disini.Happy reading & jangan lupa voment ya oke ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Dante (End)
HorrorNamaku Harumi Akira. Gadis keturunan Jepang yang lahir dan besar di Indonesia. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan yang namanya hantu. Ini adalah kisah ku saat memasuki bangku perkuliahan, aku berkenalan dengan seorang pria misterius dan perhatia...