Sakit Hati

5.3K 276 2
                                    

"Tuhan tidak memberikan ujian melebihi batas Kemampuan hambanya. Tapi, mampukah aku menjalani ujian yang sedang  aku hadapi ini?"
***

       Keesokan harinya Namia bangun dalam keadaan mata sembab. Anaknya yang menjadi pelipur laranya. Arya bangun tanpa peduli dengan kejadian kemarin.

  "Nam siapin baju kerja aku. Lihat udah did setrika licin belum sama pembantu kalau belom kamu setrika lagi." Arya menyuruh Namia seakan istrinya itu pembantu. Tapi, Namia hanya diam. Dia menuruti ucapan suaminya tanpa banyak kata.

   Dia gendong anaknya untuk mengambil pakaiannya. Namia sakit hati dengan kelakuan Arya. Tapi, dia butuh berfikir tenang untuk melakukan keputusan.

    Beberapa saat kemudian Arya ke luar dari kamar mandi. Baju sudah Namia gantung di tempat biasa. Rasanya dia tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.

  "Aku mau cerai." Satu kalimat dengan satu tarikan saat Arya sedang menggunakan kemejanya. Arya melihat ke arah Namia. Dia diam sesaat lalu tertawa ke arah Namia.

  "Pagi-pagi udah bercanda aja sih, Nam ... Nam. Kamu itu jadi istri kalau ngomong di filter."

  "Aku beneran mau cerai, Mas. Selama ini aku udah nahan ini ya sama kamu. Sikap kamu sama Ibu yang seenaknya sama aku udah aku terima selama ini. Tapi, kali ini aku enggak bisa nerima kalau kamu punya wanita lain di luar sana, Mas. Kamu anggep apa aku ini?!"  Namia lagi-lagi harus menangisi nasibnya yang menyedihkan. Suaminya yang jahat, mertuanya yang sadis. Dia bertahan. Tapi, kali ini? Entahlah rasanya sudah cukup lelah dirinya.

  "Kamu itu cuma jadi perempuan sok tersakiti banget ya. Kamu enggak mikir kamu yang udah bikin sakit hati aku duluan. Kamu enggak mikir kalau gara-gara kamu keguguran dua kali anak kita mati. Kamu enggak mikir gara-gara kamu lahirin anak cewe sialan kamu itu keluarga kita jadi makin berantakan! Semua itu salah kamu. Tapi, aku emang pernah bilang minta cerai sama kamu? Enggak kan. Aku tetep pertahanin kamu jadi istri aku. Terus cuma karna masalah sepele aku sama wanita lain aja kamu bilang gini?" Arya juga tersulut emosi karna permintaan Namia yang tidak masuk akal.

  "Kamu bilang selingkuh itu cuma, Mas? Cuma? Kamu enggak sadar karna kamu selingkuh hati aku makin sakit, Mas. Aku terima semua kelakuan kamu sama Ibu. Dan untuk anak? Kamu sama keluarga kamu cuma nganggep aku robot penghasil anak laki-laki gitu? Yang bisa seenaknya kamu atur."

  "Namia! Ini semua demi kebaikan kita. Kalau kita punya anak cowo semua harta Dan perusahaan jatoh ke tangan anak kita. Gimana kalau Mas Rayyan yang duluan punya anak. Kamu mau kita hidup miskin."

  "Mas astaga aku bener-bener enggak tahu harus ngomong apa lagi sama kamu. Apa sih yang ada di pikiran kamu, Mas! Astaga."

"Kamu mau tahu apa yang ada dipikiran aku? Mau?! Aku mau kamu hasilin anak laki-laki lagi. Dengan begitu semua akan mudah, Namia! Aku ga bakal selingkuh. Iby juga sayang kamu. Kamu juga yang untung! Bukan aku aja. Jadi, kamu mikir!"

  "Mass!!!"

  "Arya kamu ngapain sih bukannya turun udah waktu kerja. Ini udah jam berapa. Ngapain masih di kamar aja," ucap Ibunya menggedor pintu Dari luar. Arya menghela napasnya dia lantas membuka pintu kamarnya.

  "Ngapain lagi kamu nangis. Pagi-pagi udah nangis aja," ucap Septi saat melihat pintu terbuka dan Namia sedang menangis sesenggukan.

"Dia minta cerai cuma gara-gara semalem." Arya melaporkan perdebatannya yang terjadi dengan Namia kepada Ibunya.

  "Mas itu bukan cuma. Hati aku sakit, Mas kamu duakan begitu saja. Apalagi selama ini aku udah sakit sama sikap kamu."

  "Udahlah, Namia enggak usah aneh-aneh. Kalau kalian cerai emang kamu enggak malu sama keluarga kamu. Enggak malu sama orang lain? Jangan mikirin ego aja. Pikirin nama baik kita semua," ucap Septi.

  "Bu...."

  "Udahlah, Namia. Kita selesain nanti. Hari ini aku ada rapat penting. Kalau cuma buat ngeladenin kamu yang minta aneh-aneh cuma buang waktu aja. Ayo, Bu kita sarapan." Arya mengajak Ibunya untuk segera turun. Namia benar-benar tidak tahu harus berbuat apalagi. Hatinya sakit harus menerima kenyataan perih ini.

  "Bu ... Bu ... Bubu...." Namia yang tadinya sedang menangis mendengar anaknya mengucapkan bu.

  "Sayang ... sayang Kayla manggil Ibu, nak."

  "Bu ... Bu....."

  "Kayla udah bisa manggil Ibu. Alhamdulillah, Kayla. Ibu seneng dengernya. Pertama kali hati Ibu yang sakit ini seakan terguyur air kebahagiaan hanya karna kamu manggil Ibu, nak." Namia memeluk anaknya dengan hangat. Walaupun, hatinya sakit tapi anaknya selalu memberikan kebahagiaannya.

  Setelah Namia puas dengan anaknya yang baru bisa mengatakan Ibu. Dia lantas ke bawah untuk sarapan. Perutnya lapar karna harus memberikan ASI kepada anaknya.

  Sampai di bawah Arya baru mau berangkat ke kantor. "Kamu makan sendiri sana. Udah tahu suaminya mau berangkat bukannya ke luar kamar. Aku mau kerja dulu," ucap Arya yang berpapasan dengan Namia.

  "Iya." Jawaban singkat yang diberikan kepada Arya. Dia tidak mau lelah berdebat lagi.

  "Yang sopan dong, Nam kamu itu sama suami," ucap Septi lagi-lagi yang selalu ikut campur dengan rumah tangganya.

  "Udah, Bu enggak papa. Aku berangkat dulu Dari pada aku telat karna harus ada perdebatan lagi."

  "Iya, Ar. Kamu hati-hati di jalan." Septi mengelus pundak anaknya.

  "Iya, Bu." Setelah itu anaknya segera pergi untuk berangkat kerja.

   Namia membiarkan saja dua orang itu. Dia tidak pernah kekurangan makan Dan materi. Tapi, dia harus menahan batin setiap harinya.

  Memang paling benar adalah menikah Dan hidup sendiri dengan suami kita. Tidak adanya orang tua. Bukan bermaksud ingin membangkang atau durhaka. Tapi, kalau suaminya selalu saja berpihak kepada Ibunya Dan Ibunya yang selalu ikut campur dengannya apa ada pasangan yang kuat menahannya.

  Selama ini, Namia kira akan bahagia kalau ada mertuanya. Ada teman, ada teman ngobrol tanpa harus merasa kesepian saat ditinggal suaminya kerja. Tapi, ternyata dia salah. Ibu mertuanya malah selalu membuat sakit hatinya, selalu ikut campur rumah tangganya Dan lagi suaminya yang selalu membela Ibunya.

  Namia tahu, bakti seorang anak laki-laki tetaplah pada Ibunya. Tapi, apakah dia lupa bahwa istri pun memiliki hak untuk dilindungi Dan disayangi oleh suaminya.

  Bagaimana jika kalian berada diposisiku? Apa kalian akan kuat menanggung penderitaan ini?
Apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku?
Ditambah suami kalian selingkuh tapi tetap membela dirinya.
Mengapa posisiku yang korban malah seakan menjadi tersangka. Dianggap wanita tidak berbakti, dianggap wanita tidak tahu diri hanya karna perihal dia tidak bisa memberikan anak laki-laki Dan cucu laki-laki di keluarga suaminya.
***

Tbc ... jangan lupa komen lagi yaw biar cepet end. Hehe

Bertahan Dengan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang