"Jiwa yang bimbang sulit memilih keputusan."
***"Namia, Umi mau bicara, nak," panggil Uminya dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamar anaknya.
"Namia enggak mau denger apapun kalau tentang laki-laki itu, Umi," jawab Namia Dari dalam kamar.
"Namia kamu itu harus sopan sama Umi kamu. Abi enggak pernah ajarin kamu untuk teriak-teriak dari dalam kamar saat sedang berbicara dengan Umi," ucap Abinya.
"Udah Abi tenang, sabar. Abi bisa nenangin diri aja dulu. Biar Umi yang bicara sama Namia. Kalau ada Abi nanti Namia malah semakin enggak mau ke luar dari kamarnya," ucap Abinya sambil mengelus pundak sang suami.
"Tapi, nanti anak itu malah bikin Umi sakit hati."
"Tenang, Abi. Putri kita hanya sedang emosi seperti biasanya makanya biarkan Umi yang akan berbicara kepada Namia. Umi yang akan bicara Dari hati ke hati sama Namia." Abinya menghela napas akhirnya mengangguk. Setelah itu, pergi dari sana.
Uminya tidak ambil hati dengan hal tadi. Dia hanya butuh berbicara dari hati ke hati kepada anaknya supaya paham. Karna dia yakin anaknya hanya butuh diberi masukan bukan paksaan."Namia ini, Umi, nak. Maafkan Abi ya. Abi udah enggak ada kok. Sekarang Umi mau ngobrol sama Namia. Boleh, nak? Cantik? Anak bontot Umi yang paling cantik?" goda Uminya dari luar kamar. Satu sisi Namia yang kesal pun juga ikut tersenyum mendengar ucapan Uminya. Uminya yakin dalam Lima detik pasti anak perempuan satu-satunya itu akan keluar dari kamar.
1....
2....
3....
4....
5....Lima detik kemudian, benar saja pintu terbuka. Namia muncul dengan wajah ditekuknya tapi Uminya tetap tersenyum melihat anak gadisnya itu.
"Yuk masuk kita ngobrol, Umi udah lama banget kayaknya enggak ngobrol berdua sama kamu," ucap Uminya mengajak Namia masuk. Padahal, Namia tahu pasti Uminya akan membahas hal tadi. Tapi, melihat raut wajah Uminya pun Namia pasti tidak bisa menolak lagi. Wanita yang selalu menjadi idola dihidupnya.
Namia masuk lebih dulu ke dalam, Uminya pun tersenyum lalu ikut masuk. Tak, lupa menutup pintu kamar lebih dulu untuk mereka deep talk berdua.
"Kamar anak Umi enggak pernah berubah ya Dari kecil. Pasti di dominasi sama warna pink. Bener-bener pink lovers," goda Uminya.
"Umi apaan sih. Kayak baru masuk kamar Namia aja." Uminya tertawa.
"Ya habisan kamar kamu tutup mulu, ada apa sih kamarnya sampe ditutup mulu. Banyak berlian ya?" goda Uminya lagi.
"Iya banyak tambang emas, Mi. Makanya rawan dimaling jadi kamar Namia harus ditutup terus untuk menjaga keamanan," jawab Namia lagi. Uminya tertawa mendengar jawaban anaknya itu.
"Wah bagus dong. Ada pekerja tambangnya engga? Kenalin ke Umi dong."
"Azzzz, Umiii napa dilanjutin terus siii...." Uminya tersenyum puas setelah berhasil menggoda sang anak. Sedangkan yang digoda hanya memutar bola matanya malas.
"Iya-iya. Yaudah nih ya Umi serius."
"Tapi gausah bahas tu cowo, Mi. Dahlah akutu ga suka sama dia." Umi menghela napasnya sabar.
"Namia, Umi sama Abi itu enggak pernah nuntut Mia untuk jadi ini atau itu. Umi cuma mau Mia bahagia. Abang udah bahagia sama istrinya. Abi sama Umi udah tenang melihatnya. Sekarang yang Umi sama Abi takutin itu cuma Mia. Mia tahu kan umur engga ada yang tahu? Kalau sampai Umi atau Abi pergi lebih dulu meninggalkan Mia tanpa melihat Mia bahagia dengan pasangan Mia. Umi sama Abi akan sedih, nak." Namia yang mendengar hal itu melihat ke arah Uminya. Terlihat kesedihan di mata Uminya.
"Umi ngomong apa sih. Umi sama Abi tuh bakal selalu nemenin Mia. Sampai Mia nikah sampe punya anak. Udah ah jangan ngomong aneh-aneh. Mia enggak suka," ucap Namia lagi.
"Makanya itu, Mia. Umi sama Abi cuma mau yang terbaik. Kalau kamu sudah nikah Umi pasti tenang. Lagian kamu tahu perjuangan Arya selama 40 hari. Hanya karna satu kesalahan kamu lupa dengan kebaikannya. Lagian kesalahannya dia juga bukan yang fatal tapi demi nyawa keluarganya juga. Masa kamu tega sama hal itu?" tanyanya lagi. Mia terdiam, memang masalah itu sepele. Tapi, entah kenapa Mia masih belum dapat keyakinan penuh kepada Arya.
"Umi yakin kalau Arya orang yang tepat untuk Mia?" tanya Mia lagi. Uminya merasa sedikit plong karna anaknya mulai merasa tergoyah dengan keputusannya.
"Inshaallah Umi yakin karna Allah." Uminya menjawab dengan mantap hal tersebut.
"Abi juga yakin." Pintu terbuka menampilkan sosok Abinya yang langsung berucap yakin kepadanya. Namia terdiam kedua orang tuanya sudah sangat mengharpkan dirinya nikah. Mereka juga begitu yakin dengan Arya. Apakah ini sudah cukup menjawab kalau Arya memang orang yang tepat.
"Gimana, Mia?" tanya Uminya lagi. Namia menghela napasnya. Pada akhirnya dia setuju dengan keputusan mereka.
"Iya, Mi, Bi. Namia setuju dengan keputusan itu." Terlihat raut wajah berbinar Dari kedua orang tuanya yang bahagia. Mereka sudah lama menunggu Mia untuk menikah padahal umur Mia juga belum ada kepala tiga. Tapi, yaudahlah kebahagian mereka adalah kebahagian Mia.
"Alhamdulillah. Akhirnya anak Umi udah bakal nikah juga. Umi bahagia, nak." Uminya memeluk Mia dengan sangat antusias.
"Abi juga bahagia, nak. Abi sudah tidak merasa lagi takut kalau nantinya kamu akan sendiri."
"Abi apaan si. Aku kan bakal nikah. Jodoh juga udah ada yang atur jadi tenang aja lah." Mia mengingatkan Abinya untuk tidak terlalu bahagia.
"Ya tetep aja Abi seneng banget dengernya." Mia mengangguk lagi. Biarlah Mia yakin dengan restu kedua orang tuanya. Harapan Mia ini akan menjadi jawaban untuknya Dan pilihan yang terbaik.
"Iya deh. Yaudah Abi mau keluar duluan. Mau mancing dulu."
"Ck abi mu itu lho kebiasaan Mia pasti mancing-mancing terus." Uminya menggelengkan kepalanya.
"Yaudahlah biarin Mi. Biar Abi bahagia aja," ucap Mia.
"Terimakasih ya sayang kamu udah mau menuruti keinginan Umi sama Abi. Yaudah Umi juga mau masak dulu. Kamu mau Umi masakin apa?"
"Apa aja deh Umi. Aku kayaknya mau istirahat dulu. Puyeng rasanya."
"Ah yaudah kamu istirahat aja. Umi bakal masak yang enak untuk kamu."
"Makasih ya, Umi." Uminya mengangguk lantas ke luar dari kamar Namia.
"Huft ... semoga ini menjadi jawaban yang terbaik untuk ke depannya." Namia berharap itu benar-benar jawaban Allah walaupun hatinya masih bimbang. Setidaknya restu orang tuanya yang berbinar sudah membuat Namia merasa bahagia. Setelah itu, dia memilih untuk merebahkan tubuhnya dan tertidur sejenak.
Perempuan terkadang sudah dipaksa menikah saat umurnya sudah lebih dari dua puluh Lima tahuh. Padahal, menikah lebih dari dua puluh Lima tahun bukan masalah selama nantinya jawabannya adalah yang terbaik.
***Tbc ... jangan lupa tinggalkan jejak kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertahan Dengan Luka
SpiritualMenjadi seorang istri dan Ibu yang bertahan untuk anaknya adalah sebuah pengorbanan, demi sang anak agar tetap mendapat kasih sayang kedua orang tuanya. Namia bertahan. Ujian yang selalu datang silih berganti membuat dirinya nyaris menyerah. Tapi, s...