#26 : Begin

94 15 11
                                    

Ini sama sekali tidak benar. Ini tidak boleh berlanjut.

Sesuatu berdenyut di dada kiriku. Terasa sakit yang mendalam, tapi bukan suatu hal yang berkaitan dengan hal biologis. Apakah perasaanku terluka?

Pukulan terakhirku sudah kulayangkan hampir satu menit yang lalu. Aku tetap duduk di atas Jimin yang tergeletak pasrah karena perlakuan binatangku.

Aku segera bangkit dan menuangkan seluruh benda yang ada di tasku ke lantai. Mengeluarkan segala sesuatu yang ada di saku pakaian olahraga dan seragam yang tengah kupakai. Aku menunjukkannya di depan banyak orang.

"Haesung, kemarilah," kataku memanggil ketua kelas itu. "Apa kau bisa menemukan uang banyakmu di antara barang-barang ini? Apakah ada bukti terkuat untuk menuduhku melakukan pencurian itu?"

Gadis itu mulai menyingkirkan benda benda dan membuka seluruh bukuku, memastikan tak ada uang yang terselip di antaranya. "Jika memang ada, aku akan kembalikan beserta 50% dari total uangmu. Tapi aku tak akan memberikannya, karena bukan aku yang mengambil uang banyakmu itu."

Buku terakhir ia letakkan dan berdiri tegap di depanku dengan mata berkaca-kacanya yang tampak menyedihkan. "Aku tidak menemukannya, Tae. Dan aku percaya, jika memang uang itu diambil seseorang, maka bukan kau orangnya. Pasti ada orang lain. Karena aku mempercayaimu." Air matanya kembali mengalir di pipinya. Seperti perosotan di taman air yang deras.

Satu lagi orang yang datang untuk mempercayaiku. Tanpa keraguan dalam bicaranya, memberitahu dunia bahwa aku orang yang pantas menerima kepercayaan orang lain dan memberikan ekspektasi tinggi padaku. Sekali lagi, aku merasa bahagia.

Aku mencoba tersenyum di balik lebam-lebam yang kuterima dari Jimin. Kubungkukkan tubuhku seraya berkata, "Terima kasih, sudah mempercayaiku, ketua kelas."

Hari yang sangat panjang. Beberapa hari terakhir aku selalu berpikir begitu di perjalanan pulang menunju kedai BBQ yang masih terus berlanjut dengan dua karyawannya.

Sebelum sampai di kedai aku menuju apotek dan ternyata ada klinik kecil di sebelahnya. Aku meminta tolong pada dokter yang sepertinya masih magang untuk mengobati lukaku dengan menyamarkan warnanya agar Sejin hyung tidak khawatir nantinya.

"Apakah kau salah satu pelayan di kedai BBQ di blok sebelah?" Dokter magang itu tiba-tiba bertanya saat mengobati lebam di pipiku.

Aku mengangguk. "Datanglah lain waktu saat Anda sudah tidak repot lagi."

Dia kemudian tertawa renyah. "Tidak perlu terlalu formal padaku. Aku sangat suka BBQ di sana, aku akan datang setelah pekerjaan hari ini selesai."

"Kami akan keburu tutup, dokter. Hehe..."

"Aku akan pulang saat matahari terbenam. Aku mendapat shift siang hari ini."

"Hah..." Aku menghembuskan napas lega. "Syukurlah. Aku yakin Anda sudah berkerja dengan keras dan baik hari ini, dokter."

"Ya ya... Tapi seharusnya kau menjadi anak yang lebihbaik lagi, jangan suka berkelahi."

"Aku punya alasan logis untuk ini."

"Benarkah?"

"Aku dituduh mencuri uang yang banyak, dan yang percaya padaku hanya satu orang. Kerterlaluan bukan? Aku hanya menghajar si kompor yang juga sekaligus..." Aku berhenti. 'Sahabatku...' lanjutku dalam hati. Mengingat kenyataan bahwa Jimin juga sahabatku dulu, sebelum vieo pencopetan tersebar di sekolah, membuat dadaku terasa perih, persis setelah aku menghajar Jimin tadi.

Rasanya... Aku tidak tahan untuk tidak bicara sama sekali dengan manusia berisik serba bisa itu. Dia selalu saja membuat perhatianku teralih dan mulai bersemangat untuk menjalani kehidupanku yang membosankan dan monoton. Dialah alasan aku tetap bertahan dari keterpurukanku.

Where's My WINGS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang