Aku masih terduduk di sini. Di ruangan yang berisikan lilin-lilin di setiap sisinya. Tempat di mana bunga-bunga putih bertebaran dengan begitu menyedihkan.
Figura itu menampakkan wajah bahagia seorang pemuda dengan baju wisuda serta sertifikat kelulusan kebanggaannya dari sebuah sekolah menengah pertama favorit di daerahku. Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan suatu keburukan, justru menunjukkan rasa peduli yang besar bagi orang disekelilingnya.
Peti itu terasa sepi. Seperti hatiku. Beberapa orang tampak mengelilinginya dengan deraian air mata yang entah untuk apa mereka melakukannya. Mulut mereka tak henti mengeluarkan suara aneh hingga membuatku mulai terbawa suasana.
Kuhampiri peti itu. Seseorang tertidur di dalamnya dengan begitu tenang. Dengan segala kebisingan dunia dia mampu menutup mata dan kedua telinganya dengan sempurna. Kulitnya memucat, seberapa keraspun orang-orang menutupinya, dia hanyalah wadah yang telah kosong.
"Jin hyung," seruku saat semua orang telah meninggalkan tempat itu. "Aku membencimu. Jadi siapkan tempatku yang dekat denganmu juga, Jin hyung."
Aku tidak memiliki keperluan apapun lagi. Jadi kurasa, pergi adalah pilihan yang paling tepat. Aku menuju kamar yang dulunya dipakai oleh Kim Seokjin hyung sebagai markasnya.
Aku dengar bahwa Bu Raeha dan Pak Daehan akan segera memakamkan Kim Seokjin hyung sore ini, jadi aku akan keluar nanti sore.
Aku berkeliling kamar itu. Kamar yang cukup ramai oleh tempelan tempelan kartun warna-warni. Meja belajarnya masih terlihat berantakan dengan segala post-it mengenai apa yang ia pelajari dari sekolah. Aku benar-benar menyadari bahwa Jin hyung adalah murid teladan.
Beberapa photocard tergantung di seutas tali. Ku perhatikan wajah wajah yang ada di dalamnya. Wajah-wajah yang asing namun terlihat begitu bersahabat. Itu adalah momen saat perayaan ulang tahun salah satu teman Jin hyung, begitu pikirku. Selama ini Jin hyung dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya aku tenang tentang hal itu.
Hah? Tenang? Mengapa aku masih saja mengkhawatirkan seseorang yang bahkan keberadaannya tidak lagi ada di dunia ini? Untuk apa aku memikirkannya?
Proses pemakaman sore ini berlangsung lancar, tentu saja dengan isakan Bu Raeha yang tiada henti. Beliau terus mengucurkan air matanya sementara aku bingung apa yang aku lakukan di sini. Kami pulang saat matahari akan kembali ke peraduannya.
"Taehyung!" Bu Raeha memanggil namaku saat tiba di rumah dan menghampiriku. "Taehyung, mulai saat ini kau tinggal bersama kami, ya? Di sini."
Aku mengangkat sebelah alisku. "Maksud ibu?"
"Tinggallah di sini dan tempati ruangan Seokjin. Untuk pegawai baru di kedai ibu sudah mempersiapkannya, jadi tenang saja!" Diluar apa yang terjadi seminggu belakangan, Bu Raeha nampak sedikit bersemangat. Walau itu hanya bohongan.
"Raeha, apa yang kau pikirkan?!" Pak Daehan menarik tangan Bu Raeha, urat urat di kepalanya terlihat saking herannya beliau.
Aku terdiam sejenak. Jika aku menerima tawaran bu Raeha, aku bisa tetap hidup dengan mewah tanpa harus bekerja, selama ini itu adalah hal yang aku inginkan. Dan jika aku menolak maka aku hanya mempersulit diriku dengan segala pekerjaan yang melelahkan itu. Aku sudah cukup lelah sekolah, jadi buat apa aku menambahkan kelelahanku?
Ya, kurasa tidak buruk.
"Rumah ini akan terasa sepi! Dan Kim Taehyung adalah pengisi yang tepat!" Bu Raeha menjelaskannya dengan keras pada suaminya.
"Kau ingin menggantikan tempat Seokjin!? Ingat Raeha, dia adalah anak kita satu-satunya yang tidakakan bisa digantikan!" Sama kerasnya dengan sang istri, Pak Daehan terlihat masih ingin mempertahankan keberadaan Seokjin hyung di rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where's My WINGS [COMPLETED]
Fanfic[ C O M P L E T E D ] ***KIM TAEHYUNG*** Segala cacat dalam hidup ini, aku pernah melakukannya. Ikan yang terus berenang dalam darahku, batu yang terus menumbuk kepalaku, dan kain hitam yang menutupi mataku. Tak ada lagi sayap. Sayap yang membawak...