#15: Begin

118 18 10
                                    

Aku kembali bersekolah. Bersekolah. Dan bersekolah. Meski aku dan Jin hyung berangkat dari mobil yang sama, tapi kami sama sekali tidak memiliki percakapan. Bila di tulis dalam lembar kosong, yang tercetak adalah...

Lembar putih yang kosong.

Begitu pula yang terjadi di masa sekolah. Dan satu minggu lagi adalah Hari Natal, dan tidak lama kemudian tahun yang baru akan dimulai. Aku selalu bertanya-tanya apakah kehidupanku akan berubah? Seandainya ada tombol Restart dan aku menekannya, apakah aku akan mendapatkan hidup yang lebih indah? hidup yang lebih pantas dan layak bagiku?

"Yo!" tiba-tiba pundakku dipukul seseorang. Dan jangan Tanya dia siapa.

"Oh, Selamat pagi," jawabku.

"Apakah PR mu sudah selesai?"

Aku tersentak begitu saja. "Memang ada PR!?" teriakku di depannya.

Segera saja ia menyembunyikan wajahnya dan aku tahu dia pasti tertawa puas dalam hatinya. Aku memukul punggungnya dan kembali berjalan. "Sialan."

Tidak membutuhkan waktu yang lama dia kembali menyusulku, menyesuaikan langkah dengan tangan disilangkan di belakang kepala. "Bagaimana? Sudah mulai menikmati masa SMA mu?"

"Hah...." Aku menghembuskan napas. "Sudah kubilang, apa yang perlu di nikmati dari sekolah yang membosankan ini? Aku sudah mempersiapkan diri untuk lulus cepat lagi. Aku tidak butuh kenangan dari kata 'menikmati'."

"Yah, kau akan kesakitan sendiri nantinya."

"KLOP!" aku membuat pistol dengan telunjuk dan jempolku, mengarahkannya ke Jimin dan sedikit mengangkatnya.

"Yang kesakitan itu kau, bukan aku. Kalau aku? Maaf saja... aku hanya ingin bernostalgia tentang masa SMA."

"Bernostalgia... membuat gagal move on. Kita tidak akan bisa berkembang jika terus terpaku dengan masa lalu," jawabku sok bijak di hadapan ketua kelas seperti Park Jimin.

"Bukankah itu yang terjadi padamu, Taehyung?" tanyanya tiba-tiba dan berhenti berjalan. Aku ikut berhenti dan menghadapnya. Aku mencoba memberi ekspresi yang menyiratkan pertanyaanku. Jimin adalah pembaca ekspresi, dia seperti dengan mudah mengetahui banyak hal hanya dengan alis terangkat, mata menyipit, dan lain sebagainya.

"Ya, kau adalah mantan pencopet. Itu kau lakukan saat TK. Tapi kudengar masa sekolah dasarmu tidak begitu menyenangkan karena masalah itu? Tapi kita sudah SMA, masa lalu bukan hal yang seharusnya dibicarakan lagi." Dia kembali berjalan dan melaluiku.

"Setiap orang punya masa lalu yang menyedihkan dan menyenangkan. Tapi alangkah baiknya kalau itu masa lalu yang menyedihkan. Dengan begitu kita terbiasa dengan kesedihan. Tidak terlalu berharap pada sesuatu."

"Tidak, kau salah." Sangkalku kemudian yang membuat Jimin berhenti lagi. "Terbiasa dengan kesedihan itu hanya akan membawa kesedihan yang lain berdatangan. Membuat sekitar terlihat menyedihkan dan monoton. Apa yang hebat dari hidup yang seperti itu? Hanya bisa menyakiti diri sendiri bahkan orang lain yang tidak tahu apa-apa."

Dia terdiam sesaat kemudian menoleh ke belakang melihatku dengan senyuman kemenangan. "Ya, itu yang ingin aku dengar darimu, Tae. Tidak ada manusia yang kuat terhadap kesedihan. Tapi kesedihan lah yang membuat manusia kuat. Kesedihan itu... egois, kan?" dia kembali berjalan meninggalkanku.

Kenapa perkataannya yang barusan seperti membuka sebuah jalan yang baru? Jalan yang lebih bercahaya dan lebih tertata. Apakah setiap orang pintar itu seperti dirinya? Jika tahu seperti ini, mungkin sedikit menikmati SMA tidak ada salahnya.

Where's My WINGS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang