Pukul delapan malam Axel datang ke rumahku. Aku bingung saat tiba-tiba Ibu masuk kamarku dan mengatakan bahwa Axel menungguku di halaman depan rumah.
Aku berjalan menuju kursi panjang yang berada di bawah pohon di halaman rumahku. Aku melihat Axel sedang duduk di sana.
"Ax." sapaku pelan. Aku duduk di sampingnya. "Ada apa?" Aku tidak mau membahas kejadian tadi sore. Aku sudah puas ketika mengatakannya tadi sore, setidaknya Axel tahu apa yang aku rasakan.
"Kangen." ucapnya pelan sambil menoleh ke arahku.
Aku mengerutkan kening bingung, padahal baru dua jam lalu kami tidak berjumpa.Tapi dia sudah bilang kangen.
"Seharian kamu nggak senyum," ucap Ax dengan tampang yang datar, membuatku gemas ingin mencubit pipinya.
"Terus tiba-tiba nangis."
Aku menggigit bibir bawahku. Aku diam, tidak tahu harus berbicara apa.
Axel menggenggam kedua tanganku. "Aku minta maaf." Axel menatap mataku lekat, tatapan teduhnya selalu berhasil mengunci tatapanku. Aku tidak suka melihat sorot keresahan dan kekosongan di mata Axel, yang meskipun aku tahu Axel mencoba menyembunyikannya.
"Maaf kalau aku kayak anak kecil." ucapku pelan, nyaris seperti bisikan.
Axel menggeleng. "Aku emang nggak seharusnya bohong sama orang yang aku sayang. Aku emang salah."
"Aku nggak suka dibohongi."
"Aku minta maaf,"
Tangan Axel merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebatang coklat yang ditali dengan pita berwarna merah muda.
Dia menyodorkan coklat itu dihadapanku. "Aku tahu kamu bukan anak kecil, mungkin kamu nggak bisa di bujuk pakai coklat ini, mungkin kamu pikir ini juga gombalan norak, tapi aku harap kamu mau nerima coklat ini."
Aku tidak bisa menahan senyum ketika mendengar ucapan Axel. "Makasih." ucapku sambil menerima coklatnya dan terkekeh pelan.
Aku melihat Axel menghembuskan napas panjang kemudian mengusap dadanya pelan, seperti merasakan kelegaan.
"Kenapa?"
"Temenin aku jalan-jalan yuk." Tanpa persetujuanku, Axel menuntunku berjalan keluar halaman rumah. Kami berjalan kaki menyusuri perumahan hingga sampai di gang keluar komplek.
Axel mengajakku duduk di sebuah warung, kami duduk saling berhadapan. Axel memesankan dua wedang ronde untuk kami.
"Aku besok pagi nggak bisa jemput kamu." ucap Axel sembari menyendok agar-agar di mangkuk wedang ronde.
"Nggak masalah."
"Besok aku nggak sekolah, kemungkinan seminggu. Jadi... "
Aku mendongak menatapnya. "Nggak papa biar nanti aku bilang Ibu." Aku kembali menyendok kuah dimangkukku. Jujur aku sedang menahan gejolak kekesalan yang cukup tinggi.
"Aku udah bilang sama Ibu."
Aku mengangguk.
"Nggak tanya aku mau kemana?" ucap Axel.
Bukan tidak perhatian, memang pertanyaan itu yang berjejal sedari tadi. Aku hanya tidak mau ketika pertanyaanku hanya di jawab dengan Axel yang diam.
Aku menggeleng, melihat Axel yang juga tengah melihatku. "Mungkin kamu nggak mau kasih tahu aku?"
Sejujurnya mood ku langsung berubah menjadi buruk ketika Axel mengatakan jika dia besok tidak masuk sekolah dan dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu empat hari. Entah mengapa aku tidak bisa berpikiran positif, entah mengapa aku menduga jika ini berhubungan dengan Bella. Mungkin tindakanku salah, seharusnya aku lebih bisa mengerti jika Axel sudah mengenal Bella jauh sebelum Axel mengenalku. Tapi... aku tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cracked [Completed]
Teen FictionAku memang bukan perempuan paling cantik. Bukan. Aku hanya aku. Perempuan biasa dengan sedikit kawan. Tapi kamu... Terimakasih sudah merubah hidupku. Membuat masa SMA menjadi lebih berwarna. "Selama lo bisa senyum dan gue masih bisa lihat, itu semu...