Chapter 15

842 34 3
                                    

Qia's POV

Gue bersiap-siap dan turun ke meja makan untuk ke sekolah. Di sana udah ada Aaric sama Kak Amar yang makan roti bakar buatan bibi.

"Qia, lo berangkat sama Aaric aja. Biar hemat ongkos." sahut Kak Amar di tengah-tengah acara sarapan.

"Emm" jawab gue sambil mengangguk dan lanjut ngunyah roti.

Drrt drrt triing

Hp gue bunyi tanda ada yang nelpon, gue merogohnya di dalam saku dan mengangkat telpon dari Dary.

"Ya, halo?" sahut gue langsung masih dalam keadaan ngunyah.

"Gue udah depan rumah." jawabnya.

Gue buru-buru minum dan menaruh roti yang masih sisa lalu berlari keluar.

"Lo mau kemana?" pekik Kak Amar.

"Mau berangkat, Dary udah di luar. Kasihan anak orang udah jauh-jauh ke sini. Gue berangkat ya Kak. Aaric sorry gue duluan." sahut gue kemudian meneruskan berlari keluar.

Dary nganter gue sampai depan pagar sekolah.

"Gue jemput pulang ya. Jangan pulang sama siapa-siapa, oke?" tanya Dary sambil senyum.

Gue mengernyitkan dahi heran, biasanya gak ngomong apa-apa juga. "Iya ok." ucap gue kemudian dan balas senyumannya.

Dary menutup jendela mobil kemudian melajukan mobilnya. Gue masuk ke arah gerbang dan langsung menerobos masuk ke kelas.

"Eh eh, kenapa lo lari-lari?" tanya Metta saat gue menjatuhkan tubuh di atas kursi dan mengagetkannya.

Gue menghirup oksigen dalam-dalam dan menghembuskannya berkali-kali.

"Lo-lo harus tau." kata gue masih dalam keadaan ngos-ngosan.

Metta menaikkan alisnya bingung sambil berusaha membuat gue tenang dengan memegang pundak gue.

"Tenang dulu, baru ngomong." katanya lembut. Gue mengangguk kemudian melanjutkan.

"Aaric nginep di rumah gue." ujar gue.

"APA?!!" teriak Metta yang membuat semua orang berbalik ke arah kita.

Gue buru-buru menutup mulutnya yang menganga lebar itu, "Hussstt.. Tenang aja, oke?" ucap gue meyakinkan.

Metta memandang gue lekat seakan gak percaya apa yang baru aja gue omongin, "Gimana ceritanya? Coba, gue pengen denger." katanya.

Gue menghirup udara dan mulai menjelaskan, "Katanya sih Mama sama adiknya nyusulin Papanya ke luar kota. Aaric gak ikut karena kan masih sekolah, bentar lagi ujian. Nah gara-gara itu, katanya dia takut sendirian di rumahnya. Makanya dateng. Kayaknya dia udah akrab banget sama Kak Amar, jadi seenaknya aja masuk rumah gue." jelas gue ketus dan beberapa kali mencibir cowok itu.

Metta menggeleng-gelengkan kepala, "Hidup memang mengejutkan. Nanti apa yang bakalan terjadi lagi ya?" tanyanya.

"Just wait" ucap gue mantap seraya menaikkan bahu acuh.

Pintu kelas terbuka dan terlihat sosok Aaric sama Gio dan Lupi yang jalan bareng masuk ke kelas. Kayaknya mereka udah akrab banget. Seluruh perhatian mengarah ke mereka bertiga yang tiba-tiba berubah sedrastis mungkin. Apalagi Lupi, itu anak dari dulu gak pernah tampil kayak gini. Biasanya dia paling culun sejagat kelas kita. Kalau Gio sama Aaric yah emang gak usah ditanya. Ketua kelas dan pangeran sekolah itu emang udah jadi favorit sekolah. Untung aja gak saingan, malah jadi akrab.

Aaric berjalan ke arah kursinya di belakang sambil menggendong tasnya sebelah. Sok cool banget!

Gue hanya memutar mata malas kemudian datang guru dan kita mulai proses pembelajaran.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang