Chapter 8

1.4K 50 2
                                    

Mata gue terbelalak hebat ketika mengecek hp di ruang tamu sambil masang sepatu yang baru kepasang bagian kanan. Baru aja ditinggal sehari karena memang sejak kemarin gue sama sekali gak cek hp karena gak enak badan dan beberapa manusia datang ke kamar gue ngajak ngobrol. Kecuali cuma pas kabar-kabaran sama Metta. Terutama Aaric yang betah sampai sore nemenin gue ngoceh padahal lagi pengen istirahat aja. But, it's okay.

Kembali ke topik, gue kaget setengah mati karena hp gue full missed call dari Dary. What?

38 missed call and 20 message dari Dary.

Oh my god, emang gak ada kerjaan lain? Maksud gue, gak gini juga kali. Kan jadi gak enak. Gue melirik keatas layar hp dan mendapati angka yang menunjukkan jam pukul 06.40. Masih ada waktu buat nelpon balik, gak bakal telat-telat amat.

Gue menekan nomor Dary ragu tapi akhirnya nada sambung terdengar juga. Satu kali, dua kali, tiga kali, dan tuutt..

"Halo?" sahut Dary diujung sana. Gue tiba-tiba gugup gak tahu harus ngomong apa.

"Emm.. Halo? Dary.." ucap gue hati-hati. "Ada apa nelpon gue sampai berkali-kali?"

"Eh iya maaf. Gue cuma khawatir kenapa lo gak jawab-jawab telepon gue. Lo gak apa-apa kan?" tanyanya antusias dengan sedikit nada cemas yang emang yakinin gue kalo dia benar-benar khawatir. Apa? Khawatir? Dia khawatir sama gue? Why?

"Emm, gak kok kemarin gue cuma gak enak badan doang. Rada-rada flu gitu, tapi sekarang udah baikan kok. Ini lagi siap-siap ke sekolah." jelas gue lebih santai. Terdengar suara hembusan napas lega di seberang sana.

"Oh syukur deh. Tapi beneran udah baikan banget?" tanyanya lagi. Dia benar-benar khawatir kayaknya. Oh my, segitunya. Dia dulu gak gini banget kok, malahan kalo gue sakit dulu malah diledekin. Sekarang jadi berubah drastis banget. Heran juga.

"Beneran udah baikan kok. Gapapa." ucap gue menenangkan, kayaknya dia gak bakal berhenti nanya kalo gue gak pake nada serius.

"Yaudah. Hati-hati ke sekolah ya. Kalo ada apa-apa bilang aja. Jangan malu." kata Dary dan akhirnya memutuskan telepon.

Yaelah, pake bilang-bilang ke dia. Kalo ada apa-apa sama gue juga pasti si Aaric yang duluan bantuin sampai-sampai dia lebih tau apa yang gue alami daripada diri gue sendiri. Etss, gak boleh ngomong gitu. Dary kan cuma niat buat bantu, Qia. Gak boleh gitu sama orang, nanti gue jitak juga tau rasa lo, ujar batin gue. Eh tapi kenapa ngomongin Aaric? Haha.

Jam menunjukkan pukul 06.50 sambil gue melanjutkan masang sebelah sepatu. Gak perlu buru-buru gue melangkahkan kaki keluar rumah dan menyetop angkot.

Gue berjalan masuk ke gerbang sebagaimana anak-anak lain juga sama. Hari ini lumayan banyak murid yang ikut jalan memasuki gerbang. Dan gue sama sekali gak telat. Mungkin karena efek pusing tiba-tiba yang kadang menerjang kepala gue dan tadi bikin gue terjaga setelah subuh. Alhasil gue bisa lebih pagi datang ke sekolah.

Ternyata begini rasanya datang cepat dan berjalan bersama rombongan para murid lainnya. Jujur, baru kali ini gue bener-bener datang cepat banget dan liat penjaga gerbang yang antusias menganggukkan kepalanya kepada murid yang melangkah memasuki gerbang. Biasanya gue datang paling cepat itu saat masih ada satu atau dua anak yang bareng gue. Penjaga gerbang boro-boro menganggukan kepala, nengok ke kita aja dia ogah.

"Selamat pagi." sahut pak satpam saat gue udah masuk. "Tumben cepet. Biasanya udah lari-lari kejar pagar yang hampir tutup." Pak satpam meledek gue seakan tahu apa yang sedang gue pikirin. Gue hanya menganggukan kepala dan tersenyum ke arahnya. Gak tahu harus jawab apa selain terus memperlebar langkah.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang