-14-

82 15 21
                                    

Terkadang, bintang perlu meredup agar masa hidupnya lebih panjang.

****

"Kok ada mobil di depan gerbang, Al. Siapa?" ucap Naufal.

"Enggak tau gue. Mungkin pengacara yang mau urusin perusahaan Ayah."

Al, Reina, dan Naufal baru pulang dari toko buku. Mereka langsung menuju rumah Al. Dan di sana ada sebuah mobil Mercedez Benz terparkir di depan gerbang rumah Al.

Reina turun dari mobil. Ia membuka gerbang rumah. Namun, ada sosok pria berjalan menghampirinya.

"I'm sorry. Who are you? Al where?" ucap lelaki berbadan tinggi, hidung mancung, rambut yang sedikit pirang, dan iris mata berwarna abu-abu. Khas orang Amerika tentunya.

"I'm Al's best friend. and you?"

"I'm is Alzetta's uncle."

Apakah ini paman Al dari LA? Apa Al mau diajak ke LA? Batin Reina.

Naufal dan Al menunggu lama di mobil. Karena tidak sabaran, mereka keluar mobil dan berniat menyusul Reina.

Baru beberapa langkah, Al berhenti. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Naufal bingung akan reaksi Al ketika melihat sosok pria itu.

"Al, kenapa? Emangnya dia siapa?"

"D-dia, emm, anu anu."

"Anu apa sih, Al? Yang jelas dong."

Al menghela napas kasar. Ia meninggalkan Naufal dengan segala tanya di otaknya.

"O-om ngapain ke sini?" Tanya Al kepada pria itu sambil menunduk.

"Hah? Om?" Naufal tak mengerti apa maksud Al. Yang ia tahu, Al hanya memiliki satu paman dari ayahnya yang berada di Los Angeles.

Apa Al mau ke LA? Naufal hanya bisa bergeming.

"Al, dua hari lalu Mama kamu telepon ke om. Ia meminta tolong agar om menjagamu. Dan, apa lebih baik kita bicara di dalam?" ucap Paman Al.

"Oh, i'm sorry uncle. Yuk masuk ke dalam, om. Naufal, bisa minta tolong bawain koper om?"

"Of course."

Al mengajak pamannya ke kamar orang tuanya. Kamar yang dua hari ini tak dibuka sama sekali. Kamar yang menyimpan banyak kenangan tentang keluarganya.

Al tak berani membuka kamar itu. Ia hanya berdiri diam dengan tubuh membeku di depan pintu kamar. Hanya menunduklah yang mampu dilakukan Al.

"Hmm."

Paman Al bergumam. Ia merasakan beban yang juga dirasakan keponakannya itu. Tangannya bergerak mengelus punggung Al.

"Sabar ya, sayang. Om tahu dan pernah merasakan apa yang kamu rasakan. Sekarang kita masuk dan membicarakan semua."

Diam-diam Reina dan Naufal mendengarkan perbincangan paman dan keponakannya itu. Mereka risau dan takut. Takut bila Al berpindah ke LA secepatnya.

"Gue takut, Rei. Kalo di LA Al gak punya temen curhat. Dia kan tertutup. Gue takut dia tumbuh menjadi sosok remaja yang memikul bebannya sendiri." ucap Naufal.

"Iya, gue juga, Fal. Gue aja gak yakin bisa bertahan kalo gue seperti Al." timpal Reina.

"Belum lagi masalah dengan si Rio. Gue akan mencoba lindungi Al dari si licik Rio."

"Hah? Rio?"

ɤ Magic of Love ɤ

"Sayang, mama kamu sudah berpesan pada Om. Kamu sudah tahu bukan?"

Al hanya mengangguk.

"Dan kamu juga tahu, Om tinggal di LA. Berarti, kamu juga harus ikut Om ke LA. Kamu setuju?"

"Iya Om. Tapi Al mohon, jangan sekarang Om. Al belum siap. Lima hari mendatang Al akan ujian nasional. Mungkin Al bisa ke LA sebulan lagi. Gak papa kan, Om?"

"Om sudah membelikan kamu tiket pesawat untuk sebulan mendatang. Seminggu ini Om akan mengurusi perusahaan Ayahmu. Dan, kamu bisa terbang ke LA sebulan lagi. Tolong, kamu bantu om untuk menjaga amanah Mbak Fatimah, Al."

"Iya om. Om bisa menginap di kamar ini. Aku keluar dulu ya, om?"

Paman Al mengangguk. Al segera keluar kamar itu dan menutup pintu kamar. Ia berlari kecil menuju kamarnya.

"Hiks,hiks. Ke-kenapa harus gue?" teriak Al di balkon kamarnya.

Hari sudah malam. Jam menunjuk pukul sepuluh malam. Reina pastinya sudah tidur.

Namun, Naufal mendengar teriakan Al. Ia segera menuju kamar Al. Berharap tak ada suatu hal tak diinginkan terjadi.

Dengan perlahan,ia membuka pintu kamar Al. Ia melihat sosok wanita dengan tubuh mungil itu sedang berjongkok di balkon kamarnya. Naufal menghampiri cewek tersebut.

"Terkadang, bintang perlu meredup agar masa hidupnya lebih panjang." ucap Naufal memecah keheningan.

Al langsung menoleh ke sumber suara. Ia segera menghapus air matanya.

"Naufal, lo denger? Gue kira udah tidur." jawab Al sambil terkekeh.

"Lo gak usah sembunyiin kesedihan lo di balik senyum itu. Gue tahu itu hanya senyum palsu yang menyiratkan kesedihan. Dan gue benci itu."

"Em-"

"Jangan menyela omongan gue. Dengerin! Gue benci ketika lo berlagak sok kuat, Al. Gue benci senyum palsu lo itu. Gue benci sorot mata sok tegar itu. Please, lo bisa tumpahin segalanya sama gue, Al. Gue masih di sini untuk lo. Gue sahabatmu, Al. Dan gue bersedia jadi sandaran lo."

Al menghambur ke pelukan Naufal. Pelukan hangat yang menenangkan.

"Kenapa harus gue, Fal. Salah gue apa? Gue berbakti kok sama orang tua gue. Gue udah tobat jadi bad girl." Isakan dan air mata itu mengiringi kata-kata Al.

Naufal melepas pelukannya. Ia mengajak Al u tuk duduk di di sebuah kursi panjang.

"Lo lihat bintang itu. Redup bukan?"

Al mengangguk.

"Bintang itu meredup agar masa hidupnya lebih lama. Sedangkan bintang yang terang itu, masa hidupnya akan segera berakhir, Al. Bintang itu dengan sombongnya mengeluarkan cahaya yang terang. Sehingga ia tak sadar, hidrogen dan inti bintang dalam tubuhnya sudah menipis. Dan ia akan mengalami sebuah ledakan. Ledakan yang menandai bahwa masa hidupnya sudah habis, Supernova."

"Gue gak paham maksud lo, Fal."

"Terkadang manusia perlu sedih sebentar agar kebahagiaannya berlangsung lama."

Mereka berdua menghabiskan malamnya di balkon itu. Berbagi keluh kesah tentang kejamnya hidup. Dunia serasa milik berdua, sampai mereka tak sadar seseorang terluka di seberang sana.

Gue ikhlas, kalo dengan hadirnya dia hidup lo akan menjadi lebih baik dan berwarna,Al.

**********

Assalamualaikum.

Haihaiiiii, Azizah balik ke dunia oren lagi. Maaf minggu kemarin gak update yaa.

Semoga kalian makin suka deh sama kisah Al dan lain lain.

Gitu aja deh.

Wassalamu'alaikum

Azizah

Magic of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang