Bab 4. Hobby?

22 3 0
                                    

Kennan' POV

Aku menghembuskan napas berat ketika Sekolah berakhir. Entah mengapa, saat mendengar suara bel, hatiku terasa amat senang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Yah, mungkin itu dikarenakan semua kejadian aneh yang kualami hari ini.

"Kau sudah bekerja keras." Puji John sambil menepuk pundakku.

"Kau mengatakan itu seakan-akan aku baru saja mengerjakan pekerjaan berat selama satu tahun." Sahutku kesal.

John hanya menanggapi perkataanku dengan tertawa santai. "Baiklah, kalau begitu, aku duluan, ya?"

"Apa kau akan bekerja lagi?" tanyaku padanya.

"Ya, begitulah."

Aku terdiam sejenak. "Kalau begitu, berjuanglah."

"Ya! Sampaikan salamku pada Reika, ya?" ujarnya sambil berlari keluar kelas. Meninggalkanku sendiri bersama Reika yang tertidur di kursi sebelahku.

Sejak jam pelajaran terakhir dimulai—mungkin karena bosan atau kelelahan—Reika terus saja tertidur.

Awalnya guru yang mengajar sempat mengeluh. Namun, berkat penjelasan dari kedua sahabatku mengenai Reika adalah anak bawang di kelas itu, akhirnya dia membiarkannya.

Diam-diam, aku memperhatikan wajah tertidur Reika.

Entah mengapa, saat itu wajahnya terlihat sangat polos dan lugu. Tampak seperti seorang anak berusia sepuluh tahun. Yang secara tak langsung membuatnya sangat imut.

Entah aku harus bersyukur atau mengeluh karena keberadaannya.

Di satu sisi, aku senang karena aku akhirnya memiliki seorang adik yang telah kudambakan saat aku masih kecil dulu. Ya, kau pasti tidak akan percaya dengan mudah. Tapi, itu benar-benar terjadi.

Dulu, aku pernah merengek kepada Ibu agar dia mau memberikanku seorang adik. Dan permintaan itu barusaja terwujud sekarang. Di saat aku telah lama melupakan keinginan itu.

Yah, walau harus kuakui, aku cukup beruntung memiliki adik seimut Reika—jika mengesampingkan sifat mengerikannya.

"Hei, Reika. Bangun." Aku menoel-noel pipi putih pucatnya.

Dia sedikit menggeliat tak nyaman saat aku membangunkannya. Namun, dia tetap mau membuka matanya. Sehingga aku bisa melihat mata hazel-nya yang indah.

"Kakak." Sapanya dengan suara khas bangun tidur.

"Semua orang sudah pergi. Ayo kita pulang." Ujarku sambil beranjak dari tempat dudukku. Lalu meringkas semua buku-bukuku.

"Ayo." Ujarku lagi sambil mengulurkan tanganku padanya.

Dan seperti biasa, Reika menyimpan suaranya dan menyambut tanganku.

Entahlah, tapi perjalanan itu terasa lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Ah, mungkin itu dikarenakan kami tidak terburu-buru karena takut terlambat. Sudahlah. Aku terlalu lelah untuk memikirkannya.

Dan seperti biasa juga, Reika selalu saja menghentikan langkahnya untuk melihat gambar atau poster yang ada di sepanjang jalan.

Seperti saat ini.

Dimana dia memandang kosong ke arah sebuah poster perlengkapan melukis.

"Oi, Reika. Apa yang kau lakukan?" tanyaku sambil melambai-lambaikan tanganku ke depan wajahnya. Tapi, tetap saja tak ada tanggapan.

Ugh, jika saja dia adalah laki-laki, aku pasti sudah memukul wajahnya saat ini juga karena kesal.

"..."

"Reika. Oi, kau masih hidup, 'kan?"

"..."

"Eh, kalian." Sebuah suara nan lembut tiba-tiba saja menghampiri indera pendengaran kami. Lalu, saat aku menoleh, aku dapat langsung mendapati sosok Marilyn tengah menatap kami dengan wajah polosnya yang menyebalkan.

"Sedang apa kalian di sini?" tanyanya lagi. Dan kali ini, dia menghampiri kami.

"Sedang mandi." Jawabku asal. "Memangnya kau tidak lihat kami sedang apa?"

Marilyn memiringkan kepalanya. Nampaknya tengah berpikir.

"Sudahlah, lebih baik kau lupakan apa kataku tadi." Aku mendengus kesal. Diam-diam, aku merutuki nasipku yang sedang buruk.

Marilyn menanggapi perkataanku dengan mengerjapkan matanya bingung. Namun, ekspresinya berubah santai saat memalingkan wajahnya ke arah Reika.

"Reika? Kau baik-baik saja?" tanyanya agak cemas.

Entahlah, tapi sepertinya Reika mendengar ucapannya. Dan akhirnya dia mengangguk.

Marilyn terdiam sejenak. Dan menatap Reika dan poster yang dilihatnya secara bergantian. Lalu, matanya pun melebar, menandakan jika dia baru saja menyadari sesuatu.

"Ah, Apakah kau menginginkan itu?" tanyanya kemudian.

"...?" aku dan Reika spontan menghadap ke arahnya.

"Ternyata benar, ya?" Marilyn berseru gembira.

Reika menatap lurus ke arah Marilyn. Dan dari tatapan matanya, bisa kutebak jika dia tengah merasa senang.

"Hei, Reika, apa kau suka melukis?" tanya Marilyn lagi. Dan kali ini, Reika segera menanggapinya dengan mengangguk penuh semangat.

"Wah, kalau begitu, kita sama."

"...?" Reika memiringkan kepalanya. "Sa... ma?" tanyanya bingung.

"Ya." Marilyn mengangguk. "Aku juga suka melukis."

"Benarkah?" kali ini, aku turut ikut bicara.

"Benar. Aku bahkan mengikuti ekskul seni lukis di Sekolah." Jelasnya antusias. "Oh, benar juga! Bagaimana kalau aku membelikannya untukmu?"

Reika menunjukkan respon terkejut.

"He-Hei, itu tidak perlu..." tolakku sungkan. "Aku, 'kan juga bisa membelikannya."

"Tidak apa-apa..." ujarnya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya. Lalu meraih tangan Reika dan menariknya agar mengikutinya. "Ayo, Reika."

Sementara aku hanya bisa menghela napas panjang dan berjalan mengikuti kedua gadis itu.

***

--Tbc--

Okay, hari ini double up, ya? :)

Terima kasih karena sudah mau membaca. Dan jaga lupa vomment-nya yaaa?

Sampai jumpa di chapter selanjutnya~~

Broken SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang