#8

51 5 0
                                    


Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Surya sedang dalam perjalanan meninggalkan singgahsananya. Membiaskan warna jingga senja di antara lekuk bukit dan pegunungan. Berbaur dengan warna langit yang mulai meredup.

Tepat ketika senja tiba, Jean dan Arman sampai di kediaman Susanto.

"Bagaimana pendarahannya?" tanya Arman.

Jean mencondongkan wajahnya di hadapan Arman, "Lihatlah, Ia berhenti dengan sendirinya. Aku sudah bilang, ini sudah biasa."

Arman mendekatkan wajahnya pada kedua hidung Jean. Sontak Jean langsung mengundurkan diri.

"Ayo masuk," ujarnya Jean yang merasa salah tingkah.

Arman tertawa kecil dan mengekor di belakang, "Ku kira Kamu tadi akan pingsan. Wajahmu pucat tadi."

Langkah Jean terhenti di ruang tamu. Senyumannya perlahan memudar. Wajahnya mulai pias. Ia mendapati sosok yang tak asing lagi.

"Isa?" kata Jean tidak percaya.

Arman ikut terhenti dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang tamu yang sudah dipenuhi orang-orang yang asing di memorinya.

Sepasang suami istri yang nampak antusias melihat kedatangan Jean. Mereka adalah Bapak dan Ibu Hari. Dan tentunya putri mereka satu-satunya. Isabella.

"Mas Jean? Kenapa Mas tidak bilang kalau Mas sedang berada di rumah?"

Jean masih termangu. Ia seperti kriminal yang sedang menyembunyikan kejahatan dari balik sakunya, "Aku juga mendadak ingin pulang. Aku tidak tahu kalau Kamu juga pulang dari Solo."

"Aku memang sedang liburan semester, Mas."

"Bagaimana Kamu bisa tahu kalau Aku di rumah?"

"Ibu tadi yang kasih tahu kalau Kamu baru saja sampai. Malam ini, keluarga kita akan mengadakan makan malam besar. Seperti biasa ya, Kamu hiburannya," sahut Bu Susanto sambil tersenyum lebar.

Jean masih belum bisa menenagkan pikirannya. Ketika seluruh rumah itu riuh memperkenalkan sosok Arman, Jean hanya terdiam melamun. Tanpa kata. Tanpa suara.

*****

Makan malam di rumah Jean kini ramai. Hangat. Penuh canda. Penuh obrolan yang berantai panjang. Tak henti-henti.

Jean masih diam. Tak bergeming. Menelan makanannya sesuap demi sesuap. Menenggak air minumnya seteguk demi seteguk. Ia tak berani mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan berbaur. Ia tak ingin satu gerakan saja, bisa menunjukkan keanehannya. Menunjukkan kesalahannya yang tak ingin diketahui oleh siapapun.

"Nak Arman ini, sudah kerja?" Pak Susanto mengalihkan pembicaraan dari kebun tehnya menjadi topik Arman.

"Iya. Saya sudah kerja di sebuah perusahaan konstruksi bangunan."

"Wah, hebat. Sudah menikah?" sahut Pak Hari takjub.

"Sudah Pak."

"Istrinya kerja apa?"

"Dia arsitek. Kami satu kampus dulu."

Semua orang berdecak kagum. Kecuali Jean. Ia hanya menunduk, meski sudut matanya tetap mengamati.

"Sudah punya anak?" sahut Pak Susanto.

"Sudah, Pak. Satu perempuan. Umurnya baru tiga tahun."

"Lah istrinya ndak marah ditinggal liburan sendiri?"

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang