#17

50 8 1
                                    

Jangan lupa kasih vote dan komentar yah ^^

*****

Hidup seperti liburan kembali. Jean dan Arman memilih kehidupan seperti itu. Arman membeli sebuah pondok dengan uang tabungannya. Pondok kecil di ujung bukit, di Gunung Kidul.

Pondok itu dikelilingi pepohonan teduh menjulang. Rumput hijau bergelombang. Berpadu langit biru yang cerah menawan. Berangin riuh nan sejuk. Hangat. Dekat dengan bibir pantai berombak lembut nan memikat. Pantai dengan pasir yang diterpa sinar matahari, berkilauan seperti remah-remah batu rubi. Sepi. Sunyi. Hanya ada mereka berdua.

Setiap hari mereka berkeliling menjelajahi pantai kembali. Berlari. Berguling. Menerjang ombak. Menikmati deburan gelombang samudra yang menabrak karang. Bermandikan sinar matahari setiap hari. Menjatuhkan diri di atas pasir putih yang lembut.

Inilah alam yang terkadang hangat. Arman dan Jean bahkan berbaring di atas pasir untuk menantikan ombak menerjang. Dan menyeret pasir perlahan-lahan. Segala hal ini membuat mereka bahagia. Dan lupa ada satu penyakit yang mengendap dalam tubuh mereka. Seperti bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Menghancurkan diri berkeping-keping.

Tetapi tidak masalah bagi mereka berdua. Kini menikmati sisa waktu yang ada akan lebih baik.

Memperhatikan angkasa tanpa ujung. Jean mengangkat tangannya dan memperhatikan setiap detail telapak tangannya.

Arman yang berbaring di sebelah Jean, menyelipkan jari-jemarinya pada setiap sela jari-jemari Jean. Mereka menurunkan tangan mereka yang sudah menyatu dalam keadaan bergandengan. Saling memandang dan tersenyum satu sama lain.

"Apa Kamu bahagia sekarang?" tanya Arman.

"Tentu. Aku lupa meski ada bahaya yang mengintai. Tapi bersamamu, bahaya itu sirna. Resah itu punah."

Arman mencium kening Jean seolah tak mau kehilangan.

"Aku kini merasa seperti kupu-kupu, Man."

"Maksudmu?"

"Aku merasa kebahagiaan yang indah ini hanya sementara. Seperti umur kupu-kupu. Keindahannya adalah fase terakhir hidupnya. Meski singkat, tetapi setidaknya, Ia sempat menikmati untuk menjadi sosok yang cantik di saat-saat terakhirnya."

"Apakah Kamu merasa terbebani dengan penyakit ini?"

"Tidak. Setiap orang pasti akan mati, bukan? Entah dengan cara apapun. Tapi....lihatlah, anggap saja ini anugrah. Jika tidak, kita tidak akan bisa menembus dinding jarak antara kita," Jean mempertinggi suaranya yang mulai antusias.

Arman terdiam melihat senyuman Jean yang masih menawan baginya. Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Ia tidak pernah siap. Tidak siap untuk kehilangan Jean sepenuhnya.

Ini kesempatanku. Aku ingin selalu bersamamu. Memintal cinta yang luas. Untuk kita berteduh di bawahnya.

*****

Kehangatan keluarga tak lagi Jean rasakan setelah Ia meninggalkan rumah. Sudah satu tahun terlewati dan Ia tak memberi kabar apapun di rumah. Berganti nomor telfon. Menghilangkan jejak agar tidak di lacak.

Arman meminta Jean untuk menelfon keluarganya sekali saja untuk memastikan keadaan mereka. Mengabarkan bahwa Jean juga dalam keadaan baik, meski ada penyakit berbahaya yang bersemayam dalam tubuhnya.

Setelah mencoba menghubungi keluarga Jean melalui telfon suara, reaksi Ibu Jean sangat berbeda dari yang Ia bayangkan. Bu Susanto memberikan undangan makan bersama untuk Jean dan Arman. Tanpa ada paksaan. Ibu Jean dirajam rindu. Benar-benar rindu.

Karena Cinta Tak Mengenal Batas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang